Aku adalah anak yang dibesarkan dalam keluarga yang hebat, yang mengajarkanku nilai-nilai agama dan masyarakat. Aku dapat dikatakan sebagai anak yang taat akan nilai-nilai tersebut. Sampai suatu ketika Aku memasuki masa pubertas yang bertepatan dengan masa SMP-ku. Aku bersekolah di salah satu SMPN paling bagus dan favorit ditempatku, dan Aku adalah satu-satunya orang di keluargaku yang sekolah di sekolah umum alis bukan sekolah yang bernuansa islami.
Aku orangnya cuek terhadap berbagai hal, dan mungkin hal itu yang menjadi alasan orangtuaku tidak khawatir untuk menyekolahkanku di sekolah umum. Meskipun cuek, aku berhasil kenal dengan banyak orang sampai memiliki ambisi untuk menjadi anak yang hits di sekolah. Sampai suatu ketika aku mengenal yang namanya ‘pacaran’. Bagiku, pacaran memberikan kesan ‘tidak cupu’, apalagi kalau pacaran dengan orang yang bisa dikatakan hits, hal itu menjadi suatu kebanggaan untukku. Meski pacaran itu menjadi kebanggaan bagiku, aku bukan tipe orang yang suka jalan bareng atau sering mengobrol di sekolah. Selain karena orang tua saya yang tidak suka hal tesebut karena menganggap itu ‘lebay’, juga karena aku hanya menganggap pacaran itu sebagai status belaka. Yang penting aku punya pacar aja. Tapi cerita toxic relationship-nya bukan soal Aku dan pacarku itu, melainkan dengan teman yang sudah merenggut nilai-nilai yang sudah keluarga saya ajarkan. Teman yang aku anggap care, baik, dan menjadi penyemangatku. Cerita berawal dari Aku yang memiliki peer group berjumlah 6 orang. Teman-temanku itu dapat dikatakan anak hits di sekolah pada zamannya. Pada saat itu, kami sering melabrak orang lain yang kami anggap mengganggu dan sering merendahkan orang. Semakin lama Aku berteman dengan mereka, semakin buruk perilakuku. Kemudian Aku sampai di titik Aku melakukan hal yang menurutku tidak termaafkan. Aku mencuri uang nenekku, karena pada saat itu orangtua membatasi dalam memberiku uang yang hanya cukup untuk membeli pulsa dan kuota, ya supaya tidak ketinggalan jaman. Saat itu, saya juga memaksa orangtua untuk membelikan handphone yang bagus supaya saya bisa ber-media sosial. Pada saat kelas 3 SMP, saya memiliki mimpi untuk masuk ke SMA Negeri dan meningkatkan level ke-hits-an ku. Pada saat itu, Aku mendapatkan teman baru yang jauh lebih baik dari teman-temanku sebelumnya. Dia mengarahkanku menuju kebaikan. Bagiku dia seperti petunjuk jalan yang menuntunku kembali ke jalan dimana seharusnya Aku berada. Sedikit-sedikit aku mulai menjauhi teman-teman yang memberi pengaruh buruk bagiku itu. Teman baruku ini memberikanku banyak pengalaman berharga, secara tidak langsung dia juga mendukungku hingga aku meraih prestasi di sekolah. Prestasi yang kudapat itu ternyata membanggakan orangtua, dan baru kali itu Aku melihat Mama menangis karena bangga dengan prestasi yang ku raih.
1 Comment
Halo! Di artikel sebelumnya kita udah bahas apa itu ekstrovert apa itu introvert.
Jadi udah pada tau kan sekarang definisi ekstrovert introvert yang tepatnya gimana? Nah sekarang permasalahannya adalah.. ada juga yang mengatakan “aku introvert, aku bagusnya gimana?” “aku ekstrovert, bagusnya gimana?” masih adakah yang lagi mikirin ini? Oke, sekarang kita bahas yuk. Kembali kita bahas dikit tentang atribut yang dilekatkan di ekstrovert dan introvert ini. Mungkin sebagian dari kalian masih ada yang meyakini tentang ke-introvert-an dan ke-ekstrovert-an kalian seperti ini: “Kak, aku kan introvert ya, jadi wajar dong kalo ketemu orang aku gak bisa nyapa..” “Aku tuh ekstrovert, jadi kata orang-orang juga harusnya aku kerja di tempat yang mengharuskan aku ngomong di depan banyak orang” “Aku tuh introvert kang, jadi masa iya aku harus jadi ketua di kelompok KKN aku..” Apakah kalian salah satunya? Hmm.. sudah kuduga. Baiklah, yang harus diluruskan disini adalaah.... Introvert.. Ekstrovert.. Introvert.. Ekstrovert.. Sebenernya aku tuh masuk kategori mana sih? Atau mungkin Ambivert kali ya? Sekarang, banyak banget nih yang mempertanyakan sebenernya aku ini masuknya tipe apa. Sampai ada yang nyobain bermacam tes kepribadian baik offline maupun online. Dan sekarang pun banyak banget seliweran beragam jenis tes kepribadian semacam MBTI, what kind of thinker, bahkan sampe kepribadian berdasarkan golongan darah. Nah dari sekian banyaknya tes itu, diantaranya tipe ekstrovert dan introvert ini yang banyak dibahas. Katanya sih yaa. Katanya, banyak yang bilang kalo kepribadian introvert itu adalah kepribadian yang pendiem, gamau interaksi sama orang-orang, ga banyak keluar rumah, pokoknya jarang sosialisasi gitu. Terus ekstrovert sebaliknya, katanya orang ekstrovert itu banyak gaul, pasti bagus jadi pemimpin, banyak jadi pembicara, senang bergaul di lingkungan yang ramai. Kalian pasti banyak yang manggut-manggut pas baca ini. Bilang “iya ini gue banget” apalagi pernah tes online gitu. Iya kaan? Bahkan ada yang bilang kalo diantara kedua hal ini, ada juga ambivert. Tengah-tengah antara si intro dan si ekstro. Tapi iya gitu bener? Yakin? Jadi penjelasan yang benernya adalah.. Halo gaes. Sadar gak sih, sekarang banyak banget pembahasan move on di sosial media. Tapi apa sih yang dimaksud move on?
"Ya intinya lo dapet pacar baru" "Move on itu ya lu ngelupain masalalu terutama si mantan yang menyakitkan.." "Move on,, hemm.. itu saat kamu mengganti luka lama dengan kebahagiaan.." Itulah beberapa definisi dari orang-orang tentang move on. Nah ternyata dari beberapa orang lain yang juga memberikan penjelasan serupa, ternyata mereka mendefinisikan move on itu sebagai suatu waktu atau masa ketika kita mengganti luka di masa lalu dengan kebahagiaan terutama luka karena hubungan percintaan yang menyiksa bersama sang mantan. Nah itu kan pendapat dari beberapa orang berdasarkan pengalaman dan mungkin sekarang masih galau, tapi seperti apa sih move on dari sudut pandang psikologi. Gimana sih cara bilangnya? Kalau bilang nanti tersinggung gak ya orangnya? Aduh, ini peer banget ya! Tak jarang kita menghadapi orang yang 'sensitif' perasaannya atau merasa sungkan karna orang yang kita hadapi adalah orang yang kita hormati dan sayangi, sehingga kita malah enggan mengkomunikasikan masalah serta terpaksa mengambil resiko dengan memendam permasalahan karna takut menyinggung perasaan orang tersebut.
Lalu gimana dong caranya? *putus asa sambil mencakar-cakar dinding* . Tenang, Gaes! Ada caranya looh. Yuk simak artikel berikut ini dengan baik-baik. Halo teman-teman. Apa kabarnya nih? Sudahkah anda move on hari ini? Belum? Apa? Wah gawat nih.. Mungkin sebagian dari kalian yang baca ini sudah coba beragam cara. Sudah mencari tips kesana kesini untuk bisa move on dengan cepat. Sampai nangis terus. marah-marah terus. uring-uringan terus. Nah, kami tahu banget nih apa yang kalian perlukan untuk bisa move on. Maka dari itu, dengan senang hati kami kasih tau nih tips untuk move on dengan tepat. Langsung aja check this out: Oke gaes semua sepakat bahwa memaafkan adalah aktivitas yang lebih mudah dikatakan ketimbang dipraktekkan. Tapi ya namanya juga pendewasaan diri, hal-hal yang menyakitkan sejatinya penggemblengan diri agar menjadi jiwa yang damai, sehat dan bahagia. Semua ada resikonya tapi worthed kok dilakukan.
Sebab itu mulailah berupaya untuk bisa memaafkan. Prinsip dasar memaafkan adalah bergantung pada reaksi dan spontanitas kita yang jauh lebih baik (bahkan positif) terhadap peristiwa terkait setiap kali bersinggungan, kemudian tidak lagi menilai bahwa hal tersebut menyakitkan atau menyedihkan, dan tentu tidak lagi mengungkit-ngungkitnya. Setelah bersemedi di gua Filosofi Ruang Hati dan kecipratan insight dari Suhu Zein Permana, ada loh kiat kongkrit untuk memaafkan. Berikut ini adalah caranya: Setiap orang memiliki episode kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya. Katakanlah kamu sekarang adalah seseorang yang menyimpan luka hati yang tertoreh dalam dada dan belum terobati. Luka itu perlahan membentuk dirimu menjadi pemarah atau pembenci atau pendendam pada sebuah moment atau suatu hal atau seseorang.
Atau… Kamu cenderung menjadi seseorang dengan kepribadian pemarah, mudah sekali marah, begitu sensitif, reaksi negatif begitu mendominasi setiap merespon suatu masalah, bahkan terkait soal sepele sekalipun. Dan kamu begitu berat untuk memaafkan hal/ orang bersangkutan. Jika memang begitu keadaannya maka itu artinya kamu memang belum bisa memaafkan dan itu adalah masalah yang sebaiknya kamu atasi segera sebelum luka itu merusak kesehatan jiwa, pikiran dan kehidupanmu. Yakin sudah mampu memaafkan? Salam Redaksi!
Memaafkan, salah satu hal yang terdengar mudah tapi belum tentu mudah diwujudkan. Tak jarang Kita mudah sekali mengatakan, "iya, aku udah maafin” tapi kemudian mendendam... Tapi tetap kesal. Tapi tetap merasa tidak mau melepaskan mereka begitu saja. Jadi sebenarnya apa sih arti memaafkan? Apa sebaiknya kita tak usah memaafkan saja sekalian? Bagaimana kiat supaya bisa memaafkan dengan tepat? Tentunya kalian merasa kebingungan dan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pertanyaan terkait memaafkan juga membanjiri DM instragram kami, maupun instagramnya Kang Zein. So, Kami akan membantu kalian untuk mengetahui hal-hal seputar memaafkan. Kalian bisa membaca artikel tentang bagaimana cara memaafkan dan tanda sudah memaafkan. Selain membaca artikel-artikel tersebut tentunya jangan lupa bagi yang belum untuk follow akun kami di instagram: @filosofiruanghati dan dengarkan podcast kami di platform streaming favoritmu. Semoga harimu menyenangkan! Cerita berawal dari Aku –panggil aja Bunga- yang pada saat akhir semester 1 sedang mencari pekerjaan. Aku bertemu dengan lelaki -sebut saja Bambang-, yang menawarkan sebuah pekerjaan untukku. Awalnya, Aku hanya menganggap Bambang sebagai orang yang menawariku pekerjaan, karena memang begitu kenyataannya. Namun ternyata Bambang ini terus-menerus mengirimkan chat dan mengajakku berkenalan, bagiku ini aneh. Sampai seminggu kemudian, Bambang mengajakku untuk ‘berpacaran’. Awalnya Aku ragu, karena Aku merasa ‘Kok cepet banget, aneh banget, baru juga kenal beberapa minggu sudah mengajak berpacaran”. Namun perilaku Dia tampak meyakinkan. Dia berjanji bahwa Dia bersedia menunggu sampai Aku selesai kuliah, dan Dia juga akan mendukungku dalam mewujudkan cita-cita. Berkat janji-janji manis tersebut, Aku akhirnya menerima ajakan Dia berpacaran, karena ya janji itu tampak sangat meyakinkan bagiku. Sampai kemudian.... Kala itu, setiap selesai pekan PPMB mahasiswa, mahasiswa baru diharuskan untuk sharing sebanyak-banyaknya dengan kaka tingkat. Tanpa sengaja, kami bertiga, aku, temanku, dan ‘dia’ berkumpul dalam satu kelompok sharing. Kita semua kemudian saling menceritakan pengalamannya masing-masing. Kemudian tiba giliran dia yang sharing. Menurut penuturannya, dia merupakan lulusan pesantren dan ia sempat mengajar ilmu agama di beberapa tempat. Setelah kegiatan PPMB mahasiswa selesai. Kami kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, ada seseorang yang menghubungiku melalui telepon. Dari gelagatnya, sepertinya niat orang tersebut untuk menghubungiku adalah untuk mengenalku lebih dalam. Dan orang tersebut adalah orang yang tadi satu kelompok sharing denganku. Iya, yang tadi aku ceritakan, dan ternyata dia menjadi teman sekelasku di perkuliahan. Singkat cerita, dia menyatakan perasaannya. Dia bilang kalo dia menyukaiku. Pada saat itu, aku memegang prinsip bahwa aku tidak ingin menjalin hubungan yang dinamakan ‘pacaran’ sama sekali, dan rasanya itu bukanlah suatu hal yang dianjurkan. Dan aku juga menganggap bahwa dia seharusnya juga paham bahwa adan dalam Islam itu tidak diperbolehkan, apalagi melihat bahwa dia adalah orang yang hafal berbagai hadits. Aku juga tidak menginginkan menjalin hubungan karena fokusku pada saat itu adalah untuk kuliah, dan memikirkan bagaimana bisa survive di perkuliahan. Karena tahukah kalian, rasanya kuliah di semester awal bagaikan kura-kura yang berusaha keluar dari cangkangnya. Aku kemudian sempat memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya karena aku khawatir hubungan kita akan semakin intens dan dalam. Kenapa ya dia sebegitu beraninya menghubungiku dengan sangat intens dan bertanya masalah sehari-hari? Menginjak semester 3, aku merasa bahwa ini sangat gila. Bagaimana tidak, ada seorang laki-laki yang mengajakku ke rumahnya. Awalnya aku bingung, “Ini beneran aku bakalan ke rumahnya?”. Ini pertama kali bagiku, dan ini terasa sangat gila. Karena sebelumnya tidak ada laki-laki yang berani mengajakku untuk ke rumahnya. Karena bingung, akhirnya aku bercerita kepada Ibuku bahwa ada seorang laki-laki yang berniat mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orangtuanya, dan ternyata Ibuku membolehkan. Setelah mendapat izin dari Ibu, akhirnya aku mau ketika diajak bermain ke rumahnya. Ada satu hal yang membuat aku terharu ketika mengunjungi rumahnya. Aku disambut dengan hangat oleh keluarganya, dan itu adalah hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ibunya bilang kalau sebelumnya dia belum pernah mengajak seorang pun perempuan ke rumahnya, sekalipun teman dekat. Lalu kemudian aku bergumam dalam hati ”ah iya, apakah dia serius dengan ku? Bukan hanya main-main saja? Sepertinya iya” . Sebagai keluarga yang cukup agamis, Ibunya kemudian berbincang dengaku dengan bahasan soal agama, rasanya seperti sedang kajian. Ketika hendak pulang, Ibunya bilang “yang penting mau belajar dulu aja sama ibu tentang agama, masalah jodoh atau tidak itu urusan Allah”. Aku hanya mengangguk karena aku bingung, aku tidak mengerti apa arti dari ucapan Ibunya itu. Sesampainya di rumah, dia kemudian menghubungiku dan bilang : “Aku ingin bertemu seseorang yang bisa menerima aku apa adanya” “Aku pengen banget dicintai orang apa adanya” Kalimat-kalimat semacam ini sering kita dengar. Atau mungkin beberapa dari kita pernah ada yang punya pemikiran serupa dengan kalimat barusan. Iya gak sih? Seneng ya kayaknya kalo bisa ketemu orang yang bisa mau nerima kita dengan keadaan dan kebiasaan kita. Apalagi kalo pasangan kita itu cantik cantik, ganteng ganteng, soleh, soleha, santun, perhatian, baik hati. Hayoloh mulai pada ngayal kemana mana kan. Tapi apasih yang dimaksud dengan apa adanya itu? Pernahkah kita berada dalam situasi sangat menginginkan dan mendambakan sesuatu? Pengen ini, pengen itu. Lalu tiba-tiba ketika kita memutuskan ingin membeli atau memiliki atau melakukan yang kita inginkan itu, orang tua dan sahabat kita nanya ke kita “ngapain pengen dan punya itu?” “emang kamu bener-bener butuh gitu?” Trus sering banget ngga sih kita denger saran atau nasihat dari orangtua kita, “mesti bisa membedakan mana yang keinginan dan mana yang bener-bener jadi kebutuhan, supaya kita tahu prioritas hidup kita”. Tapi, masalahnya emang kita tau gitu apa bedanya antara kebutuhan dan keinginan? Gimana cara membedakan dan mendeteksi keduanya? Nah, simak baik-baik artikel ini yaaah.. Persaman dari kebutuhan dan keinginan adalah dia sama-sama membuat kita terdorong untuk bergerak dan melakukan sesuatu. Artinya, mau itu keinginan atau kebutuhan, dia sama-sama punya efek motivasi, yaitu sebuah keadaan psikologis yang membuat kita terdorong untuk bergerak atau melakukan sesuatu. Jadinya, penting buat kita nih untuk punya yang namanya keinginan dan kebutuhan, karena dia ngasih hal-hal yang mendorong kita untuk bergerak dan melakukan sesuatu Persamaan-nya cuma itu doang, satu aja. Sementara perbedaan mendasarnya ada dua. Pertama, dilihat darimana ia berasal. Kebutuhan itu selalu merupakan bawaan, dan karena sifatnya bawaan, dia jadinya akan mempengaruhi fisik kita. Misalnya makan, yang terpenting kan makan. Sementara keinginan itu bukan bawaan, tapi ia buatan. butuh makan es krim, butuh kopi untuk moodbooster, itu bukan butuh, tapi keinginan. Kedua, dilihat dari dampaknya bila ia tidak terwujud atau ngga jadi kenyataan. Kalo keinginan, jika ia tidak terwujud dan ngga jadi kenyataan, biasanya ngga akan terlalu berpengaruh terhadap kehidupan kita. Ngga akan ada yang ilang, ngga akan merasa rugi, dan secara fisik dan psikologis kita akan baik-baik aja kalo keinginan itu memang ga tercapai. Kalopun ada masalah di psikologis, itu karena kekecewaan aja karena keinginan tidak tercapai. Tapi lain halnya dengan kebutuhan. Jika ia tidak terwujud dan tidak terpenuhi, biasanya bukan hanya gelisah secara psikologis, si aspek fisik juga biasanya ikut terpengaruh. Artinya gimana? kebutuhan jika tidak dipenuhi akan membuat diri kita bermasalah baik itu secara fisik maupun psikis contoh: Makan, kira-kira keinginan atau kebutuhan? Makan steak wagyu di cafe, keinginan apa kebutuhan? Dari sini, mulai kebayang kah apa bedanya keinginan dan kebutuhan? Yuk kita mulai cerdas membedakan mana KEINGINAN dan mana KEBUTUHAN. [Ditulis oleh: Zein Permana Editor: Bayu] Cerita berawal dari teman SD yang tiba-tiba chat di Facebook pada saat Aku duduk di bangku SMA. Aku sama Dia awalnya cuma temen chat biasa, tapi lama-lama makin deket bahkan sampe bilang kalo Dia suka sama Aku. Ceritanya Dia nembak, tapi langsung Aku tolak mentah-mentah. Meskipun pada akhirnya, Aku menerima juga tapi dengan beberapa syarat. Tau gak sih? Kalo ini tuh pertama kalinya Aku pacaran sama seseorang. Karena ini pertama kali, akhirnya Aku percaya-percaya aja tuh sama omongan Dia, yang ternyata tanpa Aku sadari itu tuh ngerusak kondisi psikisku. Saking ngerusaknya, bisa dibilang kalo hubungan kita itu 20% damai dan 80% berantem. Tapi meskipun gitu, hubungan yang Aku jalani ini berjalan selama 5 tahun. Wow banget gak tuh? Bisa kaya gitu ya toxic relationship tuh. Tanpa sadar ngerusak tapi bertahan lama. Untuk kalian yang juga sedang bergelut dalam toxic relationship dan berusaha sembuh dari toxic relationship mari berpelukan, I know how you feel. Lalu, kenapa bisa sampe bertahan selama 5 tahun? Jawabannya adalah.... |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |