Berharap nggak yaa..
Berharap nggak yaa.. Berharap nggak yaa.. Harap-harap cemas, harapan palsu, harapan kosong, banyak sekali istilah harapan yang digunakan oleh kawula muda saat ini. Harapan adalah sesuatu yang menjadi penyemangat, sesuatu yang membuat kita bertahan, namun tak jarang kini istilah harapan juga dikaitkan dengan konotasi negatif. Jadi sebenarnya apa sih harapan itu?
0 Comments
Akhir-akhir ini drama True Beauty yang diadaptasi dari Webtoon dengan judul The Secret of Angel sedang ramai diperbincangkan. Di episode pertama, drama tersebut menceritakan seorang anak SMA Saebom bernama Jukyung yang dibully di sekolah karena memiliki wajah yang jelek. Beberapa teman sekelasnya yang populer mem-bully-nya dengan cara menyuruhnya untuk membeli dimsum, menyiramnya di kamar mandi, hingga mempermalukan Jukyung di depan Kakak Kantin yang disukainya. Fenomena semacam itu sering muncul di drama korea atau bahkan di sinetron indonesia karena cukup relate dengan yang terjadi di sekitar kita.
Terlahir memiliki wajah yang tampan atau cantik sering dianggap sebagai sebuah anugerah yang bisa membuat hidup pemiliknya menjadi lebih mudah. Ada pepatah yang bisa menggambarkan hal tersebut yaitu, “perempuan yang terlahir cantik, maka setengah dari masalah hidupnya telah terselesaikan”. Hal tersebut sering disebut sebagai Beauty Privilige. Apa sih Beauty Privilige itu? Dilansir dari IDN Times, Beauty Privilige pada dasarnya merupakan istilah untuk menggambarkan betapa beruntungnya hidup seseorang yang terkesan lebih lancar dibandingkan kebanyakan orang karena terlahir dengan rupa yang menawan. Berbagai riset menyatakan bahwa privilege ini akan membuat seseorang memiliki karir yang bagus dan lebih dimaklumi jika melakukan kesalahan. Dalam Urban Dictionary, istilah yang digunakan adalah Pretty Privilige yang dijabarkan sebagai seseorang yang mendapat pengaruh (clout), peluang, dan menjadi lebih sukses dalam hidupnya karena betapa menariknya mereka. Setelah mengetahui definisinya, mari kita lihat contoh fenomena dari Beauty Privilige. Salah satu contoh fenomena Beauty Privilige yang pernah ramai diperbincangkan oleh netizen adalah munculnya video dari mantan member JKT48, Adhisty Zara. Video tersebut menunjukan Zara yang sedang bersama kekasihnya, Zaki Pohan. Dalam video yang diunggah oleh Zara di instastory, terlihat bahwa Zaki memperlihatkan tindakan yang dianggap tidak etis. Hal tersebut menuai berbagai respon dan membuat netizen terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu yang membela dan menghujat. Dukungan yang diberikan netizen untuk Zara muncul lewat tagar #kitaadauntukzara. Hal itu malah menuai respon lain dari netizen yang justru membandingkannya dengan Kekeyi. Pasalnya, Kekeyi sering di-bully ketika melakukan suatu hal dan netizen menganggap itu sebagai ketidakadilan. Netizen menganggap bahwa Zara memiliki Beauty Privilige, sehingga ia mendapat dukungan sekalipun melakukan kesalahan. Hal tersebut memunculkan istilah baru di kalangan netizen Indonesia, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang good looking”. Menurut sebuah studi yang berjudul Why Beauty Matters, jika seseorang enak dilihat, kenikmatan yang kita peroleh dari melihat mereka memberikan persepsi kita tentang atribut lain. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kita cenderung memandang mereka sebagai orang yang cerdas, sehat, dan mampu secara sosial karena mereka terlihat baik. Studi tersebut juga mengatakan bahwa persepsi ini bisa dimulai dari masa pra-sekolah dan sekolah dasar, di mana anak-anak yang 'manis' secara tidak sadar diberi perhatian lebih oleh guru mereka. Selain itu, baik anak-anak maupun orang dewasa secara tidak sadar menyukai anak-anak yang lebih ‘manis’ secara umum. Perhatian ekstra ini dapat terus menghasilkan prestasi akademik dan kepercayaan diri yang lebih baik di masa depan bagi mereka yang terlihat ‘manis’. Dalam ilmu ekonomi, bahkan ada satu bidang yang didedikasikan untuk studi kecantikan, yaitu Pulchronomics: the study of the economics of physical attractiveness. Para ekonom telah lama mengakui bahwa kecantikan fisik memengaruhi upah, bahkan dalam pekerjaan yang tidak menjadikan penampilan sebagai hal yang relevan dengan kinerja pekerjaan. Sepertinya pria dan wanita yang menarik dibayar lebih banyak dari orang biasa untuk pekerjaan yang sama. The Social Science Research Network menerbitkan sebuah studi yang berjudul CEO Pulchronomics and Appearance Discrimination yang mempelajari apakah Beauty Privilige memengaruhi jumlah gaji yang diterima CEO. Penelitian menemukan bahwa CEO yang ‘menarik’ mendapatkan gaji yang lebih tinggi daripada CEO yang tidak menarik. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa CEO yang menarik lebih produktif. Ekonom Daniel Hamermesh dalam bukunya yang berjudul Beauty Pays menyebutkan bahwa karyawan yang lebih ‘menarik’ menikmati lebih banyak tunjangan dan gaji yang lebih tinggi. Menurut Hamermesh, hal tersebut terjadi karena ada bukti bahwa pekerja yang menarik mendatangkan lebih banyak bisnis, jadi masuk akal bagi majikan untuk mempekerjakan mereka. Di sisi lain, pekerja yang kurang menarik seringkali terabaikan dan seringkali menjadi korban diskriminasi. Nah dari penjelasan di atas, kita jadi tahu apa itu Beauty Privilige dan teori yang bisa menjelaskannya. Lalu, apakah kita hanya perlu mengandalkan kecantikan dan ketampanan untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup? Apakah kita harus insecure jika tidak terlahir sebagai individu yang cantik atau tampan? Kecantikan dan ketampanan bersifat subjektif, tidak ada tolok ukur yang pasti mengenai apa yang membuat seseorang terlihat menawan dan seberapa besar tingkat menawannya. Alih-alih terpusat pada standar kecantikan di luar sana, ada baiknya kita belajar untuk menerima diri kita apa adanya dan mencoba memaksimalkan potensi yang kita miliki. Cara untuk mengenali diri sendiri bisa dengan throwback dan membuat list tentang apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki atau bisa juga dengan mengikuti tes kepribadian yang gratis di internet. Dari situ kita akan tahu kepribadian kita seperti apa dan potensi apa yang bisa dimaksimalkan. Kalau punya ketertarikan dalam menulis, bisa bikin artikel dan posting di blog. Kalau jago desain atau menggambar, bisa bikin webtoon atau membuka jasa desain. Karya-karya yang dibuat tentu akan bermanfaat dan bisa menghibur orang lain. Karya-karya itu juga akan abadi dan dikenang. Banyak cara kok untuk “menonjol” dan tidak terbatas pada menonjolkan tampilan fisik saja. Selain itu, kita perlu mengubah pola pikir dan menerima bahwa manusia terlahir dengan fisik yang berbeda. Kecantikan atau ketampanan akan memudar seiring dengan bertambahnya usia, namun personality dan inner beauty akan terus bertahan sampai akhir. Jadi, berhenti insecure dan menyalahkan keadaan lalu mulailah gali potensi diri. Stop compairing, start loving yourself! - Avida Destya Pratiwi Beberapa dari kita kerap kali mengatakan bahwa Me Time adalah definisi dari seseorang yang sedang sendiri, kesepian, sedih, dan lain definisi yang kebetulan muncul begitu saja sebagai asumsi. Terkadang juga, Me Time dianggap khusus pada golongan-golongan tertentu. Introvert misalnya. Sedangkan ekstrovert atau ambivert tidak begitu membutuhkan Me Time. Padahal tidak demikian. Siapapun kita, Introvert atau ekstrovert, sendiri atau sudah memiliki pasangan, Me Time sangat diperlukan sebagai bentuk apresiasi bagi diri sendiri. Sebagai ajang berdialog dengan batin karena telah menjadi luar biasa dari segala hal tak biasa yang menempa. Me Time bisa dibuat sesederhana sebagaimana versi kita sendiri. Tidak harus makan di restoran mewah, mengeluarkan duit berjuta-juta, atau menyewa sesuatu yang harganya tidak bisa dibilang murah. Di keadaan seperti ini, di mana wabah yang masih menjaring sebagian besar wilayah Indonesia, di mana aktivitas banyak dihabiskan di rumah, barangkali kualitas Me Time lebih menjadi poin utama ketimbang kuantitas Me Time. Lantas, Me Time seperti apakah yang ideal untuk dilakukan di rumah? Me Time Yang Ideal Menurut laman KOMPAS.com, Me Time adalah meluangkan waktu sejenak untuk diri sendiri. Banyak manfaat positif yang dihasilkan ketika kita melakukan Me Time--setidaknya untuk kesehatan ruhiyah kita. Sama halnya ketika kita membutuhkan waktu untuk memahami keadaan, kita juga butuh waktu khusus dalam mengenali dan memahami diri sendiri. Maka waktu yang kita gunakan untuk Me Time sudah selayaknya menjadi waktu yang terbaik dan ideal. Me Time yang ideal adalah ketika kamu melakukannya, dan kamu tidak merasa keberatan dengan versi Me Time-mu sendiri. Agaknya, hasil positif yang kamu dapat sama besarnya dengan porsi kamu mempersiapkannya. Berikut, adalah contoh Me Time sederhana yang semoga bisa menjadi referensi kita bersama.
Me Time ada dalam kendalimu. Habiskan sisa minggu, hari, atau bahkan jam jika kamu perlu sesegera mungkin. tidak harus seminggu sekali atau sebulan sekali. Tetapi, lihatlah sekali lagi. Telisik lebih dalam. Jangan sampai hal yang kamu lakukan sebagai bentuk Me Time malah membuatmu kecanduan dan beralih status menjadi Wasting Time. Me Time adalah bentuk memerdekakan dirimu sendiri, bukan menjajah diri sendiri. - Eka Rahmawaty “Jangan Overthinking. Coba berfikir positif dulu.”
“Sabar dulu. Jangan dibawa stress.” “Banyak kok yang masalahnya lebih berat dari kamu. Jadi kamu pasti bisa lewatin ini.” Pernah gak sih denger kata-kata semacam ini ketika curhat sama temen? Atau kita sendiri nih yang jadi tempat curhat dan memunculkan kata-kata super penyemangat semacam ini? Kata-kata itu bagus gak sih? Sebenernya bisa jadi bagus. Tapi efeknya buat yang denger bisa jadi malah berdampak negatif dan bikin gak nyaman. Kenapa? Karena gak semua orang bisa mempersepsi kalimat positif sebagai sebuah hal yang positif dan memotivasi. Justru itu tuh bisa jadi bagian dari kalimat yang mengandung toxic positivity. Apa sih itu toxic positivity? Toxic Positivity itu kondisi ketika seorang menerapkan pola pikir optimis dan fokus pada emosi positif secara berlebihan di berbagai macam situasi. Dan disisi lain dia justru menolak dan menganggap remeh emosi-emosi negatif yang sebenernya dirasain saat itu. Jadi kaya memaksakan diri sama positifnya hidup dan jadinya cenderung tidak mau menerima apapun yang memicu emosi negatif. Padahal ya selama kita masih manusia, emosi negatif itu wajar, dan wajar juga ketika kita mengekspresikan emosi negatif itu –selama caranya baik. Mengeluarkan emosi negatif itu membuat kita lebih kenal dengan diri sendiri dan membuat diri semakin bertumbuh. “Jangan sedih dong.” “Dia jahat banget sih. Tapi ya sabar aja. Jangan malah jadi kesel gitu.” Mungkin ada yang bener-bener ngerasa termotivasi atau ngerasa lebih baik ketika diberikan kalimat-kalimat kaya gini. Tapi gak semua. Dalam situasi semacam ini, ketika seseorang terus mendorong orang untuk selalu melihat sisi baik dari masalahnya, tanpa mempertimbangkan pengalaman buruk atau emosi negatifnya, tanpa diberikan kesempatan dia mengekspresikan perasaannya, itu bisa jadi malah bikin mereka terhambat dalam merasakan emosinya dan malah makin negatif. Positive Vibes Only Kita lahir dari masyarakat yang menganggap bahwa perasaan negatif itu buruk dan perasaan positif itu baik. Hal ini pada akhirnya seringkali menempatkan kita pada posisi harus menekan atau menyembunyikan emosi negatif hanya karena gak mau dibilang tukang ngeluh dan tukang marah-marah. Apalagi dikatain cengeng. Ada anggapan bahwa “Bahagia = gak sedih”. Anggapan ini cenderung membuat kita harus menyangkal emosi negatif supaya terus bahagia, padahal kan nggak juga. Emosi negatif itu gak selamanya buruk, proses kita dalam menerima emosi negatif ini yang justru bisa bikin kita ngerasa lebih baik dan menerima apa yang sedang kita alami. Kalau perlu nangis, ya nangis. Its ok. Kadang ketika seseorang terlalu optimis dan fokus pada emosi positif secara berlebih, justru malah jadi tidak realistis. Kita berharap hal-hal baik akan terjadi, tapi lupa kalo hambatan itu pasti ada dan kita jadi lupa mengantisipasi hal itu. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar terhindar dari toxic positivity? 1. Mengidentifikasi Emosi Ketika merasa ada yang mengganggu pikiran, coba identifikasi itu apa. Kita bisa membuat semacam mood tracker. Ini cukup efektif agar kita bisa menghargai setiap emosi yang Allah hadirkan setiap harinnya. Dan apapun emosi yang hadir, semoga bisa Allah mampukan kita menerima dan mengekspresikannya. InsyaAllah 2. Menerima Emosi yang dirasakan Bisa jadi kita atau orang-orang yang dicurhatin temennya diluar sana belum paham bahwa emosi negatif itu adalah sesuatu hal yang harus diterima. Menerima emosi negatif itu bukan membuat kita tampak lemah, justru membuat kita merasa tenang dari pada terus tertekan karena berbohong pada apa yang dirasakan diri sendiri. 3.Self-Compassion Memahami diri ketika mengalami kegagalan atau kesalahan dengan tidak menghakimi kekurangan dan ketidaksempurnaan diri. Dari ketidaksempurnaan, kita akan semakin banyak belajar dan maju. Juga ketika kita mendapati teman yang bercerita, pahami bahwa ia bukan lah kita, bisa jadi cara yang kita lakukan untuk menyelesaikan masalah itu nggak berlaku buat dia. Jadi, akan lebih baik kalau kita memahami dulu ceritanya lalu tanya “Aku bisa bantu apa?”. Pertanyaan ini saja sudah cukup menunjukkan kalo kita tuh ngasih support ke dia. Jadi, bukan hanya kita yang mencari teman baik, namun kita juga bisa menjadi teman yang baik bagi orang lain di sekitar kita, yaitu dengan mencoba tidak menjadi toxic untuknya bagi yang curhat. Selamat dan semangat bertumbuh 😊 - Rahma Mutia Beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar istilah Toxic Positivity. Berbagai artikel dan carousel mengenai topik ini tak jarang berseliweran di laman media sosial kita. Apalagi, sejak pandemi “menyerang” keseharian kita setahun lalu. PHK dimana-dimana, para pengusaha merasakan omset yang terjun bebas, kita terpaksa tidak bisa menemui keluarga, tidak bisa bersosialisasi dengan teman, bagi pelajar dan mahasiswa mendapat tugas seabrek yang rasanya membelah diri -tak kunjung usai-, orangtua yang kerja dari rumah harus merangkap sebagai guru dan teman bermain anak-anak di rumah. Burn out.
Keadaan-keadaan tersebut tidak bisa kita pungkiri, membuat kita sedih, marah, ingin menghilang sejenak, atau sekedar mencurahkan keresahan dan keluhan kepada orang terdekat ataupun media sosial yang kita miliki. Tapi, setelah mengungkapkan keluh-kesah tersebut, tak jarang kondisi perasaan kita menjadi semakin buruk dengan adanya tanggapan : “ Udah, nggak usah diambil pusing. Lo mendingan bersyukur aja.” Mengapa perasaan kita merasa tidak puas, bahkan nyesek banget ya mendengar tanggapan tersebut? Bukankah nasihat untuk bersyukur adalah hal yang baik? Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Secara sederhana, toxic positivity atau racun positivitas adalah kondisi menempatkan emosi bahagia dan rasa optimis di semua situasi. Emosi manusia yang beragam, “dipaksa” untuk selalu bahagia dan optimis, sehingga nasihat atau tanggapan yang seharusnya positif, menjadi “racun” karena menyangkal emosi lain yang kita miliki. Sama seperti banyak hal yang berlebihan, ketika hal positif digunakan untuk menyembunyikan atau “membungkam” pengalaman dan emosi lainnya. Dengan menyangkal rasa marah, sedih, kecewa, cemburu, kita seringkali berpura-pura menjadi manusia positif dan bahagia sepanjang hari. Jadi, bedanya toxic positivity sama positivity beneran apa dong? Pertanyaan yang pasti sering muncul adalah kebingungan menentukan : Ini tuh toxic positivity atau sesuatu yang positif beneran yang bisa kita amini ya? Untuk menentukannya sesuatu itu adalah racun positifitas, mungkin kita bisa melihat dari beberapa kriteria berikut:
Gimana caranya supaya tidak memberikan toxic positivity? Toxic positivity biasanya keluar dari seseorang yang mendengarkan curhatan. Maka dari itu, ketika ada seseorang yang curhat, yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan curhatannya, berikan ruang dan waktu untuk dia mengekspresikan perasaannya. Daripada melontarkan kalimat-kalimat yang akan menyinggung perasaannya, lebih baik diawali dengan pertanyaan "Oke, jadi apa yang bisa aku bantu?". Dengan begitu, kamu jadi tidak menghakimi dan kamu bisa memberikan tanggapan sesuai dengan apa yang dia harapkan. -Damar Aulia Nissa Masalah apa yang sedang terjadi?
Pada tanggal 18 Januari 2021 jagat Twitter diramaikan oleh perdebatan antara seorang Warna Negara Asing (WNA) berkulit hitam asal Amerika Serikat bernama Kristen Gray dengan sebagian Rakyat Indonesia. Cuitan WNA tersebut yang menceritakan mengenai pengalamannya pindah dan menetap di Bali selama kurang lebih satu tahun secara mudah dan murah walaupun sedang dalam masa pandemi. Tidak hanya berupa cuitan,WNA tersebut juga membuat buku elektronik mengenai pengalamannya dan menjualnya kepada WNA lain yang ingin tinggal di Bali secara mudah dan murah. Sayangnya, buku tersebut juga memberi petunjuk celah untuk ”mencurangi” sistem administrasi keimigrasian di Indonesia, khususnya di Pulau Bali. Rakyat Indonesia pengguna twitter yang mengetahui hal ini mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan atas informasi yang disebarkan untuk “mencurangi” sistem keimigrasian tersebut sehingga merugikan negara. Ramainya perdebatan ini, memicu WNA lain, terutama yang berkulit hitam untuk menanggapi dan menganggap bahwa rakyat Indonesia rasis, karena tidak menerima orang kulit hitam untuk tinggal di negaranya. Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Fenomena saling lawan tersebut, dalam istilah psikologi disebut dengan istilah Reaktansi Psikologi, yaitu dorongan untuk melawan pembatasan kebebasan. Reaktansi ini sering dilakukan untuk memulihkan kebebasan mereka yang terancam. Para WNA melakukan perlawanan terhadap reaksi orang Indonesia karena merasa kemudahan proses imigrasi untuk tinggal di Bali yang disampaikan Kristen dalam e-booknya terancam hilang karena reaksi masyarakat Indonesia bisa menyebabkan perbaikan sistem administrasi dan pengawasan dari pihak imigrasi di Bali, sehingga akan sulit bagi mereka untuk menetap di Bali secara mudah dan murah. Dalam teori yang disampaikan Brehm, reaktansi psikologi ini sering terjadi ketika seseorang/ individu yang merasa bebas melakukan apapun, selanjutnya justru terhalang aturan. Apakah reaktansi psikologi ini hanya terjadi pada para “bule”? Sayangnya tidak. Protes yang disampaikan oleh warga twitter Indonesia menunjukkan bahwa mereka juga perlu melakukan perlawanan atas kecurangan yang dilakukan oleh Kristen yang tidak membayar pajak dan mendorong orang lain untuk melanggar aturan pembatasan perjalanan di masa Indonesia masih mengalami krisis dalam menghadapi pandemic Covid-19. Masyarakat Indonesia merasa “terancam” karena dengan dorongan Kristen tersebut, kasus Covid-19 di Indonesia akan semakin sulit dikendalikan, dan pendapatan negara dari perolehan pajak WNA tidak sesuai dengan seharusnya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia merasa perlu ambil peran untuk membela negaranya. Kasus ini bergulir semakin liar di twitter, karena banyak pihak yang membahas diluar konteks permasalahan yang sebenarnya, bahkan WNA yang melawan, menyebut Indonesia rasis, karena tidak mau menerima warga kulit hitam. Apa yang bisa dilakukan untuk meredam perdebatan dalam kasus ini? Sayangnya, reaktansi psikologis tidak bisa diredam hanya dengan ajakan/ persuasi untuk mengurangi perdebatan. Semakin diajak untuk mengurangi perdebatan, maka perdebatan akan berlangsung semakin sengit. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa cara untuk meredam fenomena reaktansi psikologis ini : 1. Melihat kembali penyebab masalahnya Masing-masing pihak harus melihat kembali masalah utama dari perdebatan ini. Masalah utama dari kasus ini adalah seorang WNA yang berhasil “mencurangi” sistem keimigrasian di Indonesia dan mengajak WNA lain untuk melakukan hal yang sama. Hal ini berarti, dengan tereksposnya kasus ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pihak terkait untuk memperbaiki celah pada sistem tersebut agar tidak ada kasus yang sama dikemudian hari. 2. Memberikan perspektif lain dari sisi lawan Baik orang Indonesia, maupun pihak WNA yang berdebat dalam masalah ini, baiknya sama-sama menempatkan diri pada sepatu orang lain. Hal ini penting, karena berdasarkan hasil penelitian, selain memicu perdebatan tak berujung, reaktansi psikologis juga dapat berpengaruh pada kesehatan jantung yang akan berdetak lebih cepat dan tak teratur karena marah atas kasus yang terjadi. Konklusi Pada intinya, ketika kita menghadapi suatu kejadian yang dirasa mengancam kebebasan, ambil sedikit waktu untuk melihat dan memahami masalah secara lebih jelas dari berbagai perspektif sehingga kita tidak menunjukkan respons agresif yang pada akhirnya malah akan merugikan diri sendiri. - Damar Aulia Nissa Manusia adalah makhluk sosial. Sudah sewajarnya manusia butuh manusia lain untuk tetap bertahan. Bertahan merasakan eksistensinya, merasakan seperti apa penerimaan dan pengakuan dari manusia lainnya.
Relasi bisa berbagai macam, dari yang sekadar teman sebangkumu atau mungkin manusia lain yang sedarah denganmu. Masalahnya, relasi itu tidak abadi. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ketika kamu siap dengan pertemuan, siapkah kamu dengan perpisahan? Bicara soal relasi, sudah menjadi makanan sehari-hari di instagram filosofi ruang hati. Bicara tentang yang menyukai, yang harus melupai, dan yang patah hati. Ini adalah cerita dari Aku si ‘Keras Kepala’ yang merasa bahwa apapun yang Aku inginkan harus Aku dapatkan, bahwa apapun harus terjadi sesuai dengan harapanku. Sampai suatu waktu, Aku mengalami putus cinta, dan Aku dipaksa untuk tidak mendapatkan apa yang Aku mau, Aku harus menerima kenyataan tersebut.
Bagi Aku yang kerasa kepala ini, kata menerima itu klise dan tidak ada artinya. Hal ini yang kemudian membuatku sulit menerima kenyataan bahwa hubunganku dengan seseorang itu sudah putus. Atau dengan kata lain, Aku susah move on. Tapi ya lama-lama capek juga, dan Aku sadar kalau memaksakan kehendak itu tidak selalu baik. Akhirnya Aku memutuskan untuk belajar menerima hal itu. Aku mulai belajar untuk mengenali diri, mengenali apa yang Aku butuhkan, Aku harus mencari bantuan kemana, dan apa yang harus Aku lakukan. Aku ingin move on. Sampai kemudian yang terpikirkan olehku adalah Aku harus mencoba bercerita, tidak hanya itu, AKu juga berusaha mengenali teman ceritaku, apakah temanku ini akan mampu mendengarkan, atau memberi semangat, atau bahkan memberi saran. Supaya Aku dapat menyesuaikan Aku harus bercerita seperti apa, kepada siapa, dan apa yang Aku harapkan dari teman tersebut. Alhamdulillahnya, Aku memiliki ketiga jenis teman tersebut. Tapi, sama halnya dengan Aku yang terbatas secara ilmu pengetahuan, teman-teman tersebut kadang tidak selalu memenuhi kebutuhanku dalam bercerita terutama dalam menyelesaikan masalah. Untuk mengatasi hal tersebut, Aku mencoba mencari ilmu lain dengan cara membaca buku tentang psikologi dan menyimak pembahasan di Youtube. Hal itu sangat membantuku dalam menanamkan mindset positif. Ternyata hal itu masih belum cukup juga, karena terkadang Aku masih merasa kebingungan untuk bertindak. Aku takut mengambil keputusan yang salah, sampai akhirnya aku mengikuti akun instagram @filosofiruanghati. First impression-ku melihat postingan di akun @filosofiruanghati rasanya membuat adem hati dan ini sangat bermanfaat buatku. Aku kemudian melihat-lihat postingannya sampai Aku menemukan satu posting-an yang mengatakan bahwa disini melayani konsultasi gratis. Terlebih lagi memang akun ini dikelola oleh orang dengan latar belakang psikologi. Sebetulnya Aku juga ingin konsultasi ke Psikolog, namun terkendala biaya. Kebetulan sekali aku menemukan akun ini sehingga Aku bisa curhat tanpa dipungut biaya. Alhamdulillah. Aku kemudian memberanikan diri untuk mengirim direct message, memastikan apakah benar-benar gratis atau tidak, dan ternyata memang gratis. Namun hal ini tidak semerta-merta membuatku langsung bercerita, Aku masih belum berani bercerita. Namun karena adminnya responsif akhirnya Aku percaya dan nyaman untuk menceritakan masalahku. Pada saat bercerita, admin selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku berpikir, dan ternyata pertanyaan ini mengarahkanku pada jawaban atas kebingunganku pada saat move on. Alhamdulillah, kecemasan dan kebingungan ku ini jadi tersadarkan dengan pertanyaan yang diajukan admin @filosofiruanghati. Aku rasa, adminnya baik sekali, siapapun adminnya yang sempat membantu masalah ku saat bercerita disini, semoga selalu berkah hidupnya. (Aamiinn ...) Dan Alhamdulilah lagi, karena aku sudah sadar itu, Aku juga mendapatkan lebih banyak ilmu mengenai cara menata hati dari buku dan media lain yang aku pelajari, membangun lingkungan sekelilingku dengan support system yang baik. Berkat pertolongan Allah Swt itu, Alhamdulilah aku berhasil move on dengan baik sekarang ini. Alhamdulilah hati ku bisa menjadi lebih tenang dan pikiran ku bisa lebih rasional kembali. Semua hal yang terjadi ini membuat aku menjadi lebih baik dari aku yang sebelumnya. Alhamdulillah.. Sebelumnya terimakasih banyak juga kepada @filosofiruanghati, semoga semakin sukses dan selalu memberikan kebermanfaatan aamiin ♥️ -M, 19 Tahun Hai fellas!
Sesadar-sadarnya ketika suatu hal telah mengacaukan hidup kita dan menjadi ketergantungan, tentu hal itu tidak sehat dong. Itu sebab kita membutuhkan dopamine detox untuk mengatasinya. Seperti apa sih cara melakukan dopamine detox itu? Tidak ada kiat khusus terkait dopamine detox namun point paling penting untuk melakukan dopamine detox adalah sekuat tenaga untuk tidak memberi reward pada diri kita setiap saat dan konsisten. Yuk, langsung saja seperti apa kiat melakukan dopamine detox itu. Dulu waktu kecil kita rajin belajar kemudian mendapat juara kelas, Gimana rasanya? Senang banget, kan! Atau ketika kita mendapatkan promosi jabatan karena kinerja bagus, apa rasanya? Hemm... Pasti ada kepuasan, kebahagiaan, dan rasa syukur yang dirasa.
Sayangnya di zaman serba canggih ini rasa ‘bahagia’ tersebut bisa kita dapatkan lewat ujung jari. Melalui gadget yang dipegang setiap waktu sehingga mudah mendapatkan kepuasan instant, diantaranya: bermain game, scrolling sosial media, memesan makanan favorit melalui aplikasi, browsing tanpa tujuan yang jelas, menonton video random di youtube dan tiktok. Semua ‘kebahagiaan’ itu bisa kita dapatkan tanpa effort, tanpa proses yang memerlukan kesabaran dan kerja keras. Bayangkan jika promosi menjadi manager hanya dengan sekali klik, masih maukah kita memberikan etos kerja terbaik? Jika mendapatkan bodygoal hanya dengan meminum obat diet dalam waktu satu malam, maukah kita rutin berolahraga dan menjaga pola makan? Jika semua rasa senang dan puas bisa kita dapatkan secara instant kenapa harus bekerja keras? Sedangkan realita kehidupan yang kita jalani tidaklah semudah bergeriliya di dunia maya. Kehidupan digital memberikan dopamine pada otak, rasanya tentu menyenangkan. Kita cenderung terlena dan mudah melakukan eskapisme (pelarian diri) dari masalah yang dihadapi di dunia nyata. Tak ayal seseorang hidup dengan dopamine hits-nya menyebabkan hidupnya tidak produktif, tidak sehat dan tidak bahagia. Halo teman-teman. Pandemi yang sedang terjadi ini berkaitan sama suatu rasa yang sudah tidak asing dengan kita. Bosan. Betul kan? Ayo mana suaranya yang sudah merasa bosan?
Apa bosan adalah suatu hal yang buruk ? Rasa bosan sendiri termasuk kedalam kategori ringan dari ‘disgust’ atau ‘jijik’. Perasaan jijik ini mengekspresikan ketidaksukaan akan suatu hal. Otak kita secara naluriah butuh rangsangan. Makanya, saat kita sedang ‘bengong’, tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba banyak suara gaib dari dalam diri kita. Mulai dari ‘apa kompor bekas masak tadi udah mati, ya?’, sampai ke ‘dulu kok aku ngomong gitu atau ngelakuin gitu ya…’. Secara naluriah, kita bakalan menghindari perasaan ga enak itu dengan suatu ‘distraksi’ atau sebuah pengalihan. Salah satunya dengan menyibukkan diri kita. Dan seringkali, kita memilih suatu kegiatan yang ‘menyenangkan’, misalnya itu buka sosmed, buka youtube, main tik-tok, ataupun kegiatan lainnya yang membuat kita terjauhkan dari pikiran tersebut. Atau contoh yang lebih ngena lagi adalah.. sebelum pandemi, ketika kita masih sekolah, masih kerja, masih kuliah.. mungkin sesekali di kelas atau di ruang kerja rasanya bosan. terus-terusan mandangin wajah dosen, guru, komputer, dan bawaannya pengen sesekali buka gadget dan chatting. atau rasanya pengen libur seterusnya.iya kan? Sesekali, sikap ini sering dirasa menyelamatkan diri kita karena rasa senang atau ‘kesibukan’ yang menjauhkan kita dari hal yang dihindari. Tapi, jika perilaku ini berkelanjutan… apa kita bakalan terus mendapatkan imbalan rasa senang itu? Teman-teman apa kabarnya nih? Semoga selalu dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun ya..
Bicara tentang sehat, ada kaitannya nih dengan fisik dan olahraga. Kalian mungkin pernah dengar kalo olahraga bisa mengurangi stress dan jadi moodbooster. Itu semua karena hormon-hormon ‘bahagia’ yang mengalir setelah kita beraktivitas fisik, seperti endorphin dan serotonin. Tapi pernah gak sih kepikiran kenapa yah kok bisa hormon-hormon yang bikin kita happy hadir setelah kita berolahraga? Hi, fellas! Apa kabar kalian? Semoga sehat dan bahagia selalu, ya!
Ngomong-ngomong,pernah denger sama istilah ‘Quarter-Life Crisis’ ? Quarter-life crisis itu adalah perasaan khawatir individu yang umumnya berada pada usia 20-an karena adanya ketidakpastian di hidup maupun mengenai karier, relasi, ataupun kehidupan sosial (Fischer, 2008). Rasanya di masa muda yang harusnya banyak tenaga dan lagi semangat-semangatnya buat beraktifitas… kok kita malah ngerasa madesu gitu, ya? Boro-boro semangat. Buat bangun tidur aja rasanya gak mood. Ujung-ujungnya scroll linimasa sosmed lagi ampe lupa waktu. Awalnya mungkin kerasa asik-asik aja, tapi lama kelamaan juga kesel gitu, kok gak produktif? Duh… harusnya kan aku produktif...harusnya begini… tapi kok gitu... Dan rasanya juga susah buat share maupun ngobrolin tentang yang kita rasain, karena kadang suka tiba-tiba gatau apa yang mau disampein? Terus, ah, mungkin udah jenuh juga sama respon yang dikasih. Ujung-ujungnya ‘Ah, sieta mah teu ngartieun’ (ah, dia mah nggak ngerti). Eittss, Fellas. Daripada rusuh dan pusing dengan berharap mendapatkan respon terbaik dari pihak luar, kenapa gak kita coba mengedukasi diri kita biar lebih memahami kondisi diri kita saat ini? Hehe Berikut ada beberapa buku yang bisa kamu coba baca ! Saya kurang setuju dengan pandangan yang meng-klaim bahwa kita ini fatherless karena kurangnya kedekatan antara ayah dengan anak.
Saya bukan ingin menyangkal perihal fatherless-nya, tapi menyangkal statement bahwa "Ayah tidak dekat dengan anaknya". Kesan fatherless yang tercipta di Indonesia bahkan dunia itu sebenarnya bukan karena ketidakdekatan Ayah dengan anak, melainkan dua hal ini : 1. Perceraian (yang 80% membuat hak asuh anak ke ibu dan menjauhkan ke ayah) 2. Persalinan di luar pernikahan Jadi, hubungan anak dengan Ayah disebuh sebagai fatherless itu karena perceraian, dan juga hamil diluar nikah. Bukan karena sosok AYAH nya. Penelitian longitudinal selama 30 tahun yang dilakukan oleh Michael Lamb menunjukkan bahwa Ayah berkontribusi pada perkembangan kemampuan fisik, kemampuan analisa dan berpikir, perkembangan otot, kemampuan menganalisa dan memecahkan masalah, kepercayaan diri, empati, dan rasa penasaran. Sebagian besar orang merasa bahwa peran Ayah hanya akan terasa jika ia ada secara fisik, bisa meluangkan waktu untuk bersama. Padahal, meski Ayah cenderung tidak selalu bersama sosok Ayah ini tetap memberi pengaruh terhadap perkembangan diri kita. Ini adalah cerita tentang taarufku pertama kali, bersama dengan seseorang yang merupakan temanku sendiri.
Awalnya Aku baper dengan taaruf ini. Namun setelah dijalani, ternyata Dia menuntut Aku untuk sesuai dengan keinginannya. Dari sini Aku menyimpulkan bahwa Aku bukan kriterianya. Padahal dari awal, Dia sudah mengiyakan untuk menjalani taaruf ini. Eh ternyata ketika Aku beri challenge untuk menemui orang tuaku malah mundur dan tidak memenuhi tantangan saya. Akhirnya Dia meminta waktu lebih namun Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Setelah keputusan itu, Aku mencoba untuk mengikuti kajian pranikah, memperdalam ilmu islam, serta mengikuti self-healing therapy. Dari kejadian ini, Aku belajar bahwa untuk mengambil suatu keputusan perlu untuk mengutamakan logika daripada perasaan, sehingga apapun keputusan yang kita ambil adalah atas kesadaran penuh. Setelah itu, Aku memutuskan untuk rehat selama 2 tahun, fokus menyembuhkan hati meskipun banyak godaan yang mencomblangkan Aku dengan orang lain Karena Aku ingin memulai hubungan baru dengan penuh kesiapan. -I, 24 |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |