Dulu sekali, Aku pernah terjebak dalam hubungan yang sangat tidak sehat, selama lima tahun. LIMA TAHUN, coba bayangkan bagaimana tersiksanya Aku. Hahaha oke ini lebay, tapi serius loh.
Selama lima tahun itu segala sesuatu harus seizin pasanganku, lingkungan pertemanan dibatasi, interkasi dengan orang lain menjadi buruk, hubungan dengan orang tua menjadi buruk, karena pikiranku selalu terfokus padanya. Dia, dia, dia, dia lagi, dia terus. Kondisi itu membuatku sangat tersiksa secara batin, aku tidak bisa bebas melakukan apapun yang aku mau. Hingga suatu hari Aku sudah sangat lelah dengan semua penjara ini, Aku memberanikan diri untuk melakukan hal yang sangat dia sukai supaya Aku bisa lepas dari belenggu ini, dan yah ternyata berhasil. Aku bisa lepas dari pasanganku itu. Setelah lepas apakah Aku baik-baik saja?
0 Comments
Cinta pertama yang menjadi kenyataan, mungkin tidak semua orang mengalaminya. Beberapa ada yang beruntung menjalani kisah dengan cinta pertamanya, beberapa lagi ada yang hanya dalam harapan. Kali ini, Aku mau bercerita tentang salah satu cinta pertama yang menjadi kenyataan. Yah, walaupun akhirnya menjadi kenyataan yang cukup buruk.
Cerita yang kami sebut sebagai komitmen ini berjalan selama 5 tahun lamanya. Kami memilih komitmen karena kami pikir hubungan ‘pacaran’ itu kebih banyak negatifnya. Tapi, di sisi lain hubungan yang sebatas komitmen ini membatasiku untuk bisa ‘melarang’ dia. Yah, mau bagaimana lagi, sudah terlanjur sayang jadi ya Aku jalani saja. Ini adalah cerita tentang sebuah hubungan yang kandas setelah berjalan selama kurang lebih 3 tahun 5 bulan.
Awalnya, hubungan kami baik-baik saja. Kami saling memaafkan dan saling mengerti satu sama lain ketika menghadapi sebuah masalah. Kami pikir saat itu Kami sudah dewasa, jadi untuk apa juga marah-marah tidak jelas, malu. Terlebih kami juga sudah saling dekat dengan orang tua masing-masing. Kami saling terbuka, tidak saling melarang dan tidak pula saling mengekang. Namun kemudian, menuju 4 tahun Dia sudah tidak lagi meminta maaf ketika salah, menjadi lebih cepat marah, dan agresif. Mungkin dia bosan, pikirku. Semenjak itu, Aku mulai merasa kehilangan Dia, padahal raga Dia ada bersamaku. Akupun tidak berani untuk mengungkapkan perasaanku, karena toh Dia juga tidak suka mendengarkan apa yang Aku rasakan. Akhirnya Aku.. Kesempatan untuk Melepaskan Hal Buruk adalah Kesempatan Emas, Akan Rugi Jika Kamu Lewatkan29/11/2019 Ini adalah cerita tentang perjalanan cinta anak SMK dengan anak kuliahan yang pada saat itu menjadi guru ekstrakurikuler. Saat SMK dulu, Aku dekat dengan seorang guru ekstrakurikuler yang sangat mendukung apapun yang Aku lakukan. Katanya Aku ini orangnya aktif, makanya Dia seneng.
Memasuki masa pendaftaran kuliah, Dia menyarankan Aku untuk daftar di kampus yang sama. Kebetulan Aku juga memang ingin berkuliah di kampus itu. Akhirnya Aku daftar di kampus yang sama, yah meskipun fakultasnya beda karena Aku tidak minat di fakultas yang sama dengan Dia. Tak apa lah, kan masih satu kampus. Ketika SMK, Aku merasa bahwa perjalanan cinta kita baik-baik saja, sampai akhirnya memasuki kuliah, Aku merasa bahwa hubungan kita mulai menjadi toxic. Dia mulai mengenalkan Aku ke semua temannya, orang tuanya, dan kenalan-kenalannya. Dia juga selalu mengantarku kemana-mana, termasuk ketika Aku akan memilih UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Aku merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Katanya “Udah tenang aja, kan ada Aku”. Dia seperti itu mungkin karena menurutnya Aku masih mahasiswa baru yang butuh menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Semakin lama aku semakin tidak nyaman karena Aku merasa menjadi sorotan kakak tingkat fakultas lain, padahal Aku tidak mengenal mereka sama sekali. Dia juga, semakin lama semakin protektif terhadapku. Yah seperti yang kalian tahu, mahasiswa baru pasti ingin kenalan dengan teman-teman baru dan main dengan mereka, tapi sayangnya Dia menginginkan Aku untuk main hanya dengannya. Aku kemudian mensiasati hal ini dengan mengajak temanku ketika Aku main bersama Dia, yah tujuannya supaya Dia mengenal teman-temanku, saling kenal dan menjadi akrab. Karena sebenarnya Aku menginginkan pasanganku dekat juga dengan teman-temanku, supaya tidak perlu membagi waktu karena toh kalau begitu kita bisa main sama-sama. Tapi ternyata, responsnya tidak seperti yang diharapkan. Dia malah menunjukkan kalau Dia tidak menyukai teman-temanku. Gara-gara ini, akhirnya temanku ini lebih memilih untuk pulang. Mereka beralasan ada tugas yang harus diselesaikan, padahal hari itu sedang tidak ada tugas. Karena sedih dan kesal, akhirnya Aku juga memutuskan untuk pulang. Kenapa sih Dia harus memperlakukan teman-temanku seperti itu?. Yah meskipun setelah itu Dia meminta maaf, dan Aku maafkan. Sebelum cerita ini terjadi, Aku bisa dibilang anak yang yah...‘kurang baik’. Tidak rajin kuliah dan suka main malam bersama teman-teman. Lalu Aku bertemu dengan seseorang yang bisa mengubah Aku menjadi ‘anak baik’, yang mulai rajin kuliah. Aku mencintai Dia dengan gila segila-gilanya. Saking gilanya, Aku sampai menganggap kalau orang itu akan menjadi pelabuhan terakhirku, menjadi jodohku yang terbaik.
Hmm... namun tidak berjalan seperti yang dibayangkan Ferguso. Dia yang Aku anggap orang terbaik justru malah godain temanku. Dan ya.. Aku tau karena temanku cerita kepadaku. Aku tidak diam begitu saja dong, ya Aku marah lah ke Dia. Aku bilang anggap saja kalau kita tidak pernah kenal sebelumnya. Aku gak terima kalau Aku diperlakukan seperti itu oleh Dia. Lalu Aku sengaja membuat status yang tujuannya untuk membuat Dia cemburu. Benar saja Dia cemburu, bahkan sampai marah. Akhirnya kita memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Semenjak itu, hubungan kami berakhir. Tapi, tidak dengan perasaanku. Entah apa yang Aku pikirkan saat itu, Aku terus berusana menghubungi Dia meskipun Dia tidak pernah merespons. Sampai kemudian suatu waktu, Aku dihubungi oleh seorang pria. Aku mengira kalau pria ini mendapatkan nomorku dari Dia, mantanku. “Mungkin dia balas dendam, makanya dia menyebarkan nomorku”, pikirku begitu. Suatu hari, pria itu mengajakku untuk bertemu. Aku mengiyakan ajakannya, karena suara yang Aku dengar ketika kami berbincang di telpon mirip mantanku. Dari sini, Aku berpikir bahwa jangan-jangan pria ini sebenarnya mantanku. Ternyata.... Yang Aku temui... Bukan.... DIA. Tetapi... Pria lain... Yang sudah BERISTRI. Aku tertipu oleh pria beristri. Hingga akhirnya istri dari pria tersebut marah padaku. Aku tidak tahu kalau pria itu beristri. Aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu pun karena Aku kira Dia adalah mantanku. Aku hanya ingin kembali pada mantanku. Eh iya... Sebelum Aku bertemu dengan pria beristri inipun sebenarnya ada beberapa nomor lain yang menghubungiku, dan Aku menemui semua pemilik nomor-nomor ini karena Aku masih berharap kalau pemilik nomor ini adalah mantanku. Tujuanku menemui mereka semua tidak lain dan tidak bukan adalah karena Aku sangat ingin bertemu dengan mantanku. Setelah kejadian pria beristri ini, Aku menjadi sakit bahkan sampai masuk rumah sakit. Semenjak itu, Aku sadar kalau Dia bukanlah pelabuhan terakhirku, dan bukan lelaki terbaik yang akan menjadi jodohku. Ya sudahlah. Aku juga sudah tidak ingin menemui dia lagi. Semenjak itu, Aku mulai rajin kuliah lagi, dan yah bisa dibilang tidak nakal lagi. Tapi ternyata, setelah dipikir-pikir ada baiknya juga Aku mengenal mantanku ini, karena Dia adalah orang yang ku anggap bisa mengubahku menjadi rajin kuliah. Kalau tidak, sepertinya Aku tidak mungkin bisa menyelesaikan kuliahku. Terima kasih untuk pelajarannya, semoga cukup Aku saja yang kamu jadikan lelucon untuk menghibur kamu dan teman-temanmu karena Aku telah begitu bodoh mempercayai semuanya. Jujur saja, meskipun Dia adalah lelaki yang membuatku trauma, tapi akan Aku jadikan sebagai cerita indah dibalik trauma ku itu. Sekarang, Aku memutuskan untuk memberhentikan semua pola ini. Lagipula Aku sudah tidak memiliki perasaan apapun kepadanya. -M, 27 Tahun. Berbeda dari cerita sebelumnya, ini adalah cerita tentang sebuah hubungan romantis beda agama. Aku tau ini tidak benar, tapi yang Aku rasakan saat itu adalah nyaman luar biasa, saking nyamannya Aku sampai bisa mengatakan kalu ‘Yes, He is the one’. Lama kelamaan kami jadi menginginkan sesuatu yang lebih dari ini, hubungan yang lebih serius. Kami tidak meminta satu sama lain untuk berpindah agama, karena kami sadar kalau hal itu adalah pondasi hidup manusia. Kami juga sadar betul, kalau kami tidak mungkin mengkhianati Tuhan kami masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, kami merasa kalau kami memaksakan hubungan ini sampai akhirnya kami mengalami putus nyambung. Kalau tidak salah sudah 36 kali kami putus nyambung. Iya, TIGA PULUH ENAM KALI. Melelahkan sekali rasanya. Hubungan ini dirasa justru malah menyakiti banyak pihak, dan yang paling tersakiti tentunya adalah kami berdua. Aku kemudian berpikir dan bertanya kepada diri sendiri “Sebenarnya, apa sih yang Aku cari dari hidup ini? Memangnya benar kalau Dia adalah lelaki yang bisa menemaniku sampai tua dan mati nanti?” Kali ini giliran Aku yang mau cerita soal toxic relationship yang pernah Aku alami.
Kenapa Aku bisa bilang kalau hubunganku ini toxic? Karena setiap kali kita berjauhan, atau dalam artian sedang tidak intens bertemu, selalu adaaaa aja yang bikin ribut. Gara-gara ini lah, gara-gara itu lah. Bahkan hal kecl pun seringkali diributin, pokoknya ribut melulu deh. Terus, kalu udah ribut tuh ujung-ujungnya selalu aja ketemu sama yang namanya ‘putus’ atau ajakan buat mengakhiri hubungan. Tapi, karena Aku orangnya enggak tegaan, akhirnya Aku mengalah dan berusaha buat menemui Dia biar enggak ribut lagi dan kita enggak putus. Hmm ... Tapi, lama-lama aku ngerasa kesiksa sendiri juga. Aku ngerasa Dia cuma mainin perasaanku aja. Rasanya kaya ditarik ulur, padahal saat itu Aku lagi takut banget untuk kehilangan Dia. Karena ketakutan itu, akhirnya Aku jadi mau ngelakuin semua hal yang Dia mau. Kalau diinget-inget lagi, suka sedih aku tuh, karena ya Aku ngerasa kalau pada saat itu Aku jadi enggak produktif, sering khawatir dan cemas, juga sering ngerasain perasaan lain yang sangat mengganggu. Sampai akhirnya.. Cerita kali ini, Aku akan ajak kamu untuk kembali ke tahun 2014. Tahun dimana Aku baru memasuki bangku perkuliahan sekaligus menjalin sebuah hubungan yang sering kita sebut sebagai pacaran. Aku tidak akan menceritakan bagaimana kehidupan perkuliahanku, karena seperti yang kamu tahu, ini bukan cerita tentang perkuliahan, melainkan tentang perjalanan sebuah hubungan.
Seperti semua hubungan pacaran pada umumnya, hubungan kami tidak selalu berjalan mulus. Ada masalah-masalah yang kadang membuat kami bertengkar, tapi untungnya kami selalu bisa menyelesaikan masalah itu. Sampai kemudian menginjak tahun terakhir perkuliahanku, tepatnya ketika Aku sedang berada di semester 7, Aku mulai merasakan perubahan dari Dia. Aku merasa jauh satu sama lain, jarang bertemu, dan intensitas komunikasi juga berkurang. Aku tidak terlalu mempermasalahkan ini sih, karena pada saat itu Aku juga sedang disibukan oleh tugas-tugas kuliahku. Entah hubungan macam apa yang akan Aku ceritakan kali ini. Dibilang pacaran, bukan. Dibilang enggak pacaran tapi kita saling suka dan kaya pacaran pada umumnya. Bingung ya. Ah, pokoknya hubungan yang Aku jalin dengan seseorang ini berdasarkan rasa saling suka. Pada awalnya hubungan yang Aku jalani baik-baik saja, yah seperti pacaran pada umumnya saja. Sampai kemudian kita harus menjalani hubungan beda pulau, alias kita harus LDR.
Semenjak LDR, dia jadi sibuk sampai akhirnya kita jadi jarang saling bertukar kabar. Sekalinya bertukar kabar, kita malah ribut. Akhirnya, karena tidak mau kalah dengan kesibukannya dan merasa lelah dengan keributan yang terjadi, Aku juga memutuskan untuk menyibukkan diri dengan banyak membaca buku dan sharing tentang agama dengan temanku. Awalnya hanya untuk menyibukkan diri, tapi ternyata buku yang Aku baca dan sharing bersama teman itu justru malah menyadarkanku bahwa hubungan yang sedang Aku jalani itu salah. Karena... Ini adalah sebuah cerita cinta yang pernah terjalin selama kurang lebih empat tahun. Bukan waktu yang sebentar tentunya, dan beberapa dari kalian mungkin akan bilang “sayang” kalau ternyata kisah yang terjalin selama ini pada akhirnya kandas juga.
Jadi, ini adalah kisah tentang Aku dan seseorang yang dulu pernah Aku cintai, sebut saja Dia. Aku dan Dia kuliah di perguruan tinggi yang sama, jadi bisa dipastikan hampir setiap hari kami menghabiskan waktu bersama-sama. Saking setiap harinya, Aku sampai tidak punya waktu untuk teman, sahabat, dan keluargaku. Sebagian besar waktuku selama empat tahun itu Aku berikan untuk Dia. Seperti pacaran pada umumnya, Dia menunjukkan perilaku yang baik pada awalnya. Tapi lama kelamaan, Dia menjadi sering melarang Aku untuk melakukan ini dan itu, Dia sangat membatasi kegiatanku bahkan dengan temanku sekalipun. Ini cerita tentang Aku yang mencintai seseorang yang sudah berkomitmen dengan orang lain. Terdengar tidak tahu diri memang, tapi ketahuilah bahwa perasaan ini tumbuh karena perlakuan Dia yang membuatku lupa bahwa Dia bukanlah orang yang tepat. Dia seolah olah membukakan pintu harapan untuk kami bisa bisa memiliki hubungan. Begitupun dengannya, Dia bilang juga Dia ingin memiliki hubungan seperti dulu. Ya sudah, mau bagaimana lagi, akhirnya Aku terjebak dalam lingkaran yang salah ini.
Lama kelamaan, Aku merasa semakin gundah dan resah. Aku merasa bahwa hubungan yang aku jalani ini salah, Aku merasa seperti digantung. Karena Aku tidak mau terus-terusan digantung tanpa diberi kepastian, akhirnya Aku memutuskan untuk move on saja. 2014 lalu, Aku memiliki sahabat yang adalah tetanggaku.
Kami bersahabat sejak kelas 2 SMA. Saking dekatnya, pada saat kelas SMA kelas 3 Aku dan Dia selalu pergi bersama, kemana pun itu, terutama setelah libur Ujian Nasional. Sampai lama-kelamaan, Aku merasakan yang namanya nyaman yang berujung bilang saling sayang. Setelah itu, ya kalian tau lah apa yang terjadi. Dia nembak Aku. Aku nggak berani untuk nerima Dia karena Aku rasa Aku ini orangnya bosenan. Aku gak mau rasa bosan Aku ini pada akhirnya akan menyakiti dia yang menurutku terlalu baik. Meskipun Aku mikin gitu, Aku sebenarnya sayang juga sih sama Dia hehehe. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalin HTS, hubungan tanpa status. Awalnya kami menjalani saja hubungan HTS itu, sampai akhirnya semester 2 perkuliahan Aku merasakan perubahan dari dirinya. Dia tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin. Aku sampai bingung dibuatnya. Lalu Aku coba menanyakan apa alasan dibalik sikap dinginnya itu, tapi Dia selalu menjawab ‘enggak tahu’. Jadi makin bingung lah Aku. Pasalnya, Dia itu sudah Aku anggap sebagai ‘whole world’ nya Aku. Yaa, meskipun kami sebenarnya tidak menyandang status pacaran, tapi kan tetep aja Aku sayang. Makanya ketika Dia pergi, Aku bener-bener ngerasa jatuh. Jadi sering nangis dan sensitif sama orang lain. Parahnya, IP ku sampai turun pada saat itu. Karena frustrated, Aku sampai memberanikan diri untuk dapetin dia lagi, Aku merasa udah gak ada harga dirinya di depan Dia. Pemikiranku saat itu ‘Gak papa aku gak ada harga dirinya, yang penting dia bisa balik lagi sama aku”. Ya meskipun pada akhirnya Aku tetep gak bisa dapetin dia lagi. Pada saat itu Aku memutuskan untuk memblok semua sosial media dan kontak dia. Tapi itu gak bisa memutuskan hubungan kami gitu aja, karena kami ada di satu komunitas yang sama, karang taruna. Mau gak mau, akhirnya aku harus rela ketemu Dia tiap bulan. Sampai kemudian... Kami adalah sepasang, em.. apa ya disebutnya? Pacaran enggak, temenan juga bukan. Teman rasa pacar lah intinya, tau kan kaya gimana? Iya gitu pokoknya. Kami menjalani sebuah hubungan sejenis teman rasa pacar selama beberapa waktu. Awalnya kami baik-baik saja, ya seperti hubungan pada umumnya. Manis, hangat, dan bahagia.
Pun seperti hubungan pada umumnya, kami mengalami beberapa konflik yang tidak jarang membuat kami putus nyambung. Konflik tersebut juga sebenarnya itu-itu saja, masih seputar kesalahan yang sama. Sampai akhirnya membuatku berpikir “Ah sudahlah, orang ini memang tidak bisa berubah, tidak bisa memperbaiki kesalahannya”. Ini adalah cerita pengalaman hubungan yang pernah Aku jalani selama kurang lebih satu tahun. Mari kita sebut hubungan ini sebagai pacaran.
Seperti pacaran pada umumnya, Aku menjalani hubungan ini seperti biasa. Ya seperti kebanyakan orang yang pacaran. Pada awalnya Aku merasa biasa saja dengan hubungan ini, tidak ada yang salah. Tapi lama kelamaan Aku merasa tidak nyaman, karena ternyata semakin lama pasanganku ini semakin mengatur ini itu. Tidak boleh dekat dengan lelaki lain lah, kalau mau pergi kemana-mana harus laporan lah, kalau berpenampilan harus feminin lah, dan aturan-aturan lain. Aku pada dasarnya memang tidak suka diatur, apalagi oleh orang yang ‘bukan siapa-siapa’. Maksudnya tidak ada ikatan resmi secara halal gitu. Sampai akhirnya Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Cerita berawal dari Aku –panggil aja Bunga- yang pada saat akhir semester 1 sedang mencari pekerjaan. Aku bertemu dengan lelaki -sebut saja Bambang-, yang menawarkan sebuah pekerjaan untukku. Awalnya, Aku hanya menganggap Bambang sebagai orang yang menawariku pekerjaan, karena memang begitu kenyataannya. Namun ternyata Bambang ini terus-menerus mengirimkan chat dan mengajakku berkenalan, bagiku ini aneh. Sampai seminggu kemudian, Bambang mengajakku untuk ‘berpacaran’. Awalnya Aku ragu, karena Aku merasa ‘Kok cepet banget, aneh banget, baru juga kenal beberapa minggu sudah mengajak berpacaran”. Namun perilaku Dia tampak meyakinkan. Dia berjanji bahwa Dia bersedia menunggu sampai Aku selesai kuliah, dan Dia juga akan mendukungku dalam mewujudkan cita-cita. Berkat janji-janji manis tersebut, Aku akhirnya menerima ajakan Dia berpacaran, karena ya janji itu tampak sangat meyakinkan bagiku. Sampai kemudian.... |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |