Kala itu, setiap selesai pekan PPMB mahasiswa, mahasiswa baru diharuskan untuk sharing sebanyak-banyaknya dengan kaka tingkat. Tanpa sengaja, kami bertiga, aku, temanku, dan ‘dia’ berkumpul dalam satu kelompok sharing. Kita semua kemudian saling menceritakan pengalamannya masing-masing. Kemudian tiba giliran dia yang sharing. Menurut penuturannya, dia merupakan lulusan pesantren dan ia sempat mengajar ilmu agama di beberapa tempat. Setelah kegiatan PPMB mahasiswa selesai. Kami kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, ada seseorang yang menghubungiku melalui telepon. Dari gelagatnya, sepertinya niat orang tersebut untuk menghubungiku adalah untuk mengenalku lebih dalam. Dan orang tersebut adalah orang yang tadi satu kelompok sharing denganku. Iya, yang tadi aku ceritakan, dan ternyata dia menjadi teman sekelasku di perkuliahan. Singkat cerita, dia menyatakan perasaannya. Dia bilang kalo dia menyukaiku. Pada saat itu, aku memegang prinsip bahwa aku tidak ingin menjalin hubungan yang dinamakan ‘pacaran’ sama sekali, dan rasanya itu bukanlah suatu hal yang dianjurkan. Dan aku juga menganggap bahwa dia seharusnya juga paham bahwa adan dalam Islam itu tidak diperbolehkan, apalagi melihat bahwa dia adalah orang yang hafal berbagai hadits. Aku juga tidak menginginkan menjalin hubungan karena fokusku pada saat itu adalah untuk kuliah, dan memikirkan bagaimana bisa survive di perkuliahan. Karena tahukah kalian, rasanya kuliah di semester awal bagaikan kura-kura yang berusaha keluar dari cangkangnya. Aku kemudian sempat memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya karena aku khawatir hubungan kita akan semakin intens dan dalam. Kenapa ya dia sebegitu beraninya menghubungiku dengan sangat intens dan bertanya masalah sehari-hari? Menginjak semester 3, aku merasa bahwa ini sangat gila. Bagaimana tidak, ada seorang laki-laki yang mengajakku ke rumahnya. Awalnya aku bingung, “Ini beneran aku bakalan ke rumahnya?”. Ini pertama kali bagiku, dan ini terasa sangat gila. Karena sebelumnya tidak ada laki-laki yang berani mengajakku untuk ke rumahnya. Karena bingung, akhirnya aku bercerita kepada Ibuku bahwa ada seorang laki-laki yang berniat mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orangtuanya, dan ternyata Ibuku membolehkan. Setelah mendapat izin dari Ibu, akhirnya aku mau ketika diajak bermain ke rumahnya. Ada satu hal yang membuat aku terharu ketika mengunjungi rumahnya. Aku disambut dengan hangat oleh keluarganya, dan itu adalah hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ibunya bilang kalau sebelumnya dia belum pernah mengajak seorang pun perempuan ke rumahnya, sekalipun teman dekat. Lalu kemudian aku bergumam dalam hati ”ah iya, apakah dia serius dengan ku? Bukan hanya main-main saja? Sepertinya iya” . Sebagai keluarga yang cukup agamis, Ibunya kemudian berbincang dengaku dengan bahasan soal agama, rasanya seperti sedang kajian. Ketika hendak pulang, Ibunya bilang “yang penting mau belajar dulu aja sama ibu tentang agama, masalah jodoh atau tidak itu urusan Allah”. Aku hanya mengangguk karena aku bingung, aku tidak mengerti apa arti dari ucapan Ibunya itu. Sesampainya di rumah, dia kemudian menghubungiku dan bilang : “jika sudah siap, semester 7 akan menikah”
Wait... What? NIKAH? Aku kaget bukan main, karena aku pikir kalau semester 7 itu masih masa kuliah dan aku masih ingin mengeksplor banyak hal. Terlebih saat itu aku masih berumur 19 tahun. Kalaupun itu terjadi, aku sama sekali belum siap. Dia bisa berkata seperti karena mungkin menurutnya itu adalah usia yang cukup menikah. By the way, dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Setelah pertemuanku dengan keluarganya itu, Aku bercerita kepada Ibuku bahwa orangtuanya menginginkan aku untuk datang ke rumahnya lagi. Katanya untuk belajar agama bersama Ibunya, dan Ibunya selalu menghubungiku. Pada kali ini, Ibuku justru tidak memberiku izin, padahal sebelumnya ia memperbolehkan aku untuk pergi. Entah mengapa alasannya, tapi sepertinya Ibu memiliki feeling yang kuat sebagai seorang Ibu. Setelah aku menolak untuk datang ke rumahnya dengan berbagai alasan, akhirnya komunikasi aku dengan Ibunya menjadi terputus. Kemudian, kali ini Ibuku yang meminta dia untuk datang ke rumah. Tapi dia tidak pernah bersedia. Mungkin dia sedang sibuk dengan urusan kuliah dan jadwal mengajar yang padat makanya dia nggak bisa datang, pikirku begitu. Selain itu, kami juga sedang mengikuti lomba essay di kampus. Seiring berjalannya waktu, kami sampai di suatu titik dimana aku merasa dekat namun tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Setiap kali aku bertanya kapan ia bersedia datang ke rumah pun, ia selalu menghindar menjawab pertanyaan itu. Kemudian aku jadi merasa tidak menemukan titik temu untuk solusi dari masalah itu. Aku juga seperti terjebak di lingkaran setan, yang hanya membahas masalah sehari-hari, umum dan klasik. Sampai akhirnya aku jarang membalas chatnya karena menurutku apa yang kita bahas tidak terlalu penting. Kita hanya berkomunikasi melalui media sosial, karena selama di kampus pun kami jarang bahkan tidak pernah saling berbicara. Kemudian jika ada saatnya kami membicarakan sesuatu, pembicaraan selalu hanya berfokus pada pendapatnya saja, jarang sekali diberi kesempatan untuk saling tukar pikiran. Sebenarnya aku sangat ingin sekali sharing mengenai suatu hal, tapi selalu saja bahasannya kembali pada persolan klasik. Meskipun begitu, lama kelamaan dia menjadi orang yang sangat aku percaya. Sampai akhirnya aku menempati sebuah titik dimana aku merasa jauh dan lebih tertutup dari teman-teman. Karena aku lebih mempercayai dia daripada teman-temanku, aku menjadi lebih pendiam dan tidak berani menceritakan permasalahanku kepada orang lain, kecuali dia. Karena aku pikir “ketika ada orang yang bisa dipercaya untuk diceritakan banyak hal, yasudah kenapa harus bercerita pada yang lain?”. Tapi, semakin lama aku semakin merasa kalau hubungan dibangun ini jadi enggak baik, membuat diri tidak berkembang dan banyak membatasi dalam beberapa hal, seperti menjadi ketua dan sekretaris di beberapa organisasi misalnya. Karena merasa terganggu akan hal itu, akhirnya aku berkonsultasi dengan dosen. Dosenku itu menyuruhku untuk memperjelas apa hubungannya, karena suatu hubungan yang tidak memiliki tujuan, bisa mengindikasikan itu adalah sebuah hubungan yang toxic. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara, berusaha untuk mempertanyakan kejelasan hubungan yang kami jalani. Aku bilang “ kalau ada suatu hal, masalah apapun terbuka aja biar bisa saling sharing tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bisa cari solusinya”. Setelah berusaha beberapa kali, akhirnya dia mau jawab. Setelah sekitar satu semester aku kebingungan dengan hubungan yang kami jalani ini, akhirnya aku mendapatkan jawaban dari apa yang menjadi pertanyaanku selama ini. Dan menurutku, jawaban ini sangat gila! Bagaimana tidak, jawaban atas pertanyaan “kenapa dia tidak mau kerumah, kenapa orangtuanya tidak lagi bertanya tentang aku, kenapa selalu menghindar, dan kenapa topik pembicaraan hanya masalah sehari-hari saja” adalah.... “Dia ingin dekat tapi tidak mau serius denganku.....”. Wow, aku kaget bukan main. Dia juga bilang kalau aku masuk ke keluarganya itu tidak akan baik, karena menurut dia ada value-value yang aku pegang yang tidak sesuai dengan value-nya. Benar apa kata Ibuku, kalau aku dan dia memiliki prinsip yang berbeda dalam urusan agama. Padahal, awalnya aku berpikir bahwa itu hal wajar dan biasa saja, bahkan bisa saling melengkapi. Mungkin. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Latar belakang agamanya yang kuat tidak bisa aku imbangi. Ya mau bagaimana lagi. Aku hanya sangat menyayangkan kenapa hal seperti ini tidak dikomunikasikan sejak awal. Setelah 1 tahun berjalan, baru lah hal ini dikomunikasikan. Dia bilang, dia takut aku pergi kalau hal ini dikomunikasikan dari awal. Setelah kejadian itu, dia berkali-kali memintaku untuk menjadi sahabatnya yang paling dekat. Katanya biar tetap dekat dan bisa saling cerita, meskipun tidak menjalin hubungan yang serius. Tapi aku menolak, karena aku rasa hubungan yang seperti itu sangat mengekang dan menyulitkanku untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, dari awal juga memang tidak ada komunikasi yang baik. Rasanya sudah sangat toxic, apapun nama hubungannya, mau dibilang sahabat dekat atau lebih dari itu, ah aku sudah tidak ingin lagi. Dia memang terbuka tentang permasalahannya kepadaku, tapi untuk prinsip, hubungan, dan visi-misi satu sama lain, rasanya sulit setengah mati untuk mencocokkannya. Pada semester 6, setelah perbincangan itu akhirnya aku memutuskan dengan tegas untuk tidak berhubungan lagi dengan dia. Meskipun dia masih sering menghubungiku, aku tetap berusaha untuk tidak merespons, atau kalaupun aku balas hanya seperlunya saja. Aku khawatir kalu kita malah akan dekat lagi. Dan sampai akhirnya, sekarang sudah tidak ada komunikasi lagi. Bersyukur rasanya sudah terlepas dari toxic relationship, ternyata tidak seburuk yang dipikirkan untuk melupakan dan berusaha tidak sakit hati. Kecewa di awal itu hal yang wajar, namun itupun tidak sampai satu bulan. Dan aku menyimpulkan bahwa tidak selamanya orang yang ku kenal baik itu dapat membantuku untuk tumbuh dan berkembang. Aku juga menjadi sadar bahwa ada hal lain yang lebih aku syukuri saat ini, yaitu memiliki support system yang sangat luar biasa. Ibuku, yang selalu setia mendengar ocehanku kapanpun dan selalu memberiku nasihat. Ayahku yang selalu mendukung apapun dan bagaimanapun keadaannya. Teman-temanku, terutama Filosofi Ruang Hati, yang selalu membantuku untuk bertumbuh dan berkembang, dan meng eksplor banyak hal. Tidak lupa aku juga bersyukur kepada Allah Swt. Tiada hentinya aku beryukur sekali pada Allah, atas banyaknya kejadian yang terjadi dan membuat lebih sadar dan semakin dekat dengan-Nya, juga bisa dipertemukan oleh mereka, support system. Pesanku, “Kalau kamu mau tau dia serius atau ngga sama kamu, coba aja minta dia untuk menemui orangtuamu, kalau dia serius dia pasti berani dateng kerumah menemui orangtuamu, dengan melamar, iya melamar. Lamaran itu tanda serius!” [ W, 21 Tahun ] Baca Juga: Aku Ikhlas, Aku bebas Setelah 5 tahun tertidur, akhirnya aku bangun juga
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |