Ini adalah cerita dari Aku si ‘Keras Kepala’ yang merasa bahwa apapun yang Aku inginkan harus Aku dapatkan, bahwa apapun harus terjadi sesuai dengan harapanku. Sampai suatu waktu, Aku mengalami putus cinta, dan Aku dipaksa untuk tidak mendapatkan apa yang Aku mau, Aku harus menerima kenyataan tersebut.
Bagi Aku yang kerasa kepala ini, kata menerima itu klise dan tidak ada artinya. Hal ini yang kemudian membuatku sulit menerima kenyataan bahwa hubunganku dengan seseorang itu sudah putus. Atau dengan kata lain, Aku susah move on. Tapi ya lama-lama capek juga, dan Aku sadar kalau memaksakan kehendak itu tidak selalu baik. Akhirnya Aku memutuskan untuk belajar menerima hal itu. Aku mulai belajar untuk mengenali diri, mengenali apa yang Aku butuhkan, Aku harus mencari bantuan kemana, dan apa yang harus Aku lakukan. Aku ingin move on. Sampai kemudian yang terpikirkan olehku adalah Aku harus mencoba bercerita, tidak hanya itu, AKu juga berusaha mengenali teman ceritaku, apakah temanku ini akan mampu mendengarkan, atau memberi semangat, atau bahkan memberi saran. Supaya Aku dapat menyesuaikan Aku harus bercerita seperti apa, kepada siapa, dan apa yang Aku harapkan dari teman tersebut. Alhamdulillahnya, Aku memiliki ketiga jenis teman tersebut. Tapi, sama halnya dengan Aku yang terbatas secara ilmu pengetahuan, teman-teman tersebut kadang tidak selalu memenuhi kebutuhanku dalam bercerita terutama dalam menyelesaikan masalah. Untuk mengatasi hal tersebut, Aku mencoba mencari ilmu lain dengan cara membaca buku tentang psikologi dan menyimak pembahasan di Youtube. Hal itu sangat membantuku dalam menanamkan mindset positif. Ternyata hal itu masih belum cukup juga, karena terkadang Aku masih merasa kebingungan untuk bertindak. Aku takut mengambil keputusan yang salah, sampai akhirnya aku mengikuti akun instagram @filosofiruanghati. First impression-ku melihat postingan di akun @filosofiruanghati rasanya membuat adem hati dan ini sangat bermanfaat buatku. Aku kemudian melihat-lihat postingannya sampai Aku menemukan satu posting-an yang mengatakan bahwa disini melayani konsultasi gratis. Terlebih lagi memang akun ini dikelola oleh orang dengan latar belakang psikologi. Sebetulnya Aku juga ingin konsultasi ke Psikolog, namun terkendala biaya. Kebetulan sekali aku menemukan akun ini sehingga Aku bisa curhat tanpa dipungut biaya. Alhamdulillah. Aku kemudian memberanikan diri untuk mengirim direct message, memastikan apakah benar-benar gratis atau tidak, dan ternyata memang gratis. Namun hal ini tidak semerta-merta membuatku langsung bercerita, Aku masih belum berani bercerita. Namun karena adminnya responsif akhirnya Aku percaya dan nyaman untuk menceritakan masalahku. Pada saat bercerita, admin selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku berpikir, dan ternyata pertanyaan ini mengarahkanku pada jawaban atas kebingunganku pada saat move on. Alhamdulillah, kecemasan dan kebingungan ku ini jadi tersadarkan dengan pertanyaan yang diajukan admin @filosofiruanghati. Aku rasa, adminnya baik sekali, siapapun adminnya yang sempat membantu masalah ku saat bercerita disini, semoga selalu berkah hidupnya. (Aamiinn ...) Dan Alhamdulilah lagi, karena aku sudah sadar itu, Aku juga mendapatkan lebih banyak ilmu mengenai cara menata hati dari buku dan media lain yang aku pelajari, membangun lingkungan sekelilingku dengan support system yang baik. Berkat pertolongan Allah Swt itu, Alhamdulilah aku berhasil move on dengan baik sekarang ini. Alhamdulilah hati ku bisa menjadi lebih tenang dan pikiran ku bisa lebih rasional kembali. Semua hal yang terjadi ini membuat aku menjadi lebih baik dari aku yang sebelumnya. Alhamdulillah.. Sebelumnya terimakasih banyak juga kepada @filosofiruanghati, semoga semakin sukses dan selalu memberikan kebermanfaatan aamiin ♥️ -M, 19 Tahun
0 Comments
Hai fellas!
Sesadar-sadarnya ketika suatu hal telah mengacaukan hidup kita dan menjadi ketergantungan, tentu hal itu tidak sehat dong. Itu sebab kita membutuhkan dopamine detox untuk mengatasinya. Seperti apa sih cara melakukan dopamine detox itu? Tidak ada kiat khusus terkait dopamine detox namun point paling penting untuk melakukan dopamine detox adalah sekuat tenaga untuk tidak memberi reward pada diri kita setiap saat dan konsisten. Yuk, langsung saja seperti apa kiat melakukan dopamine detox itu. Dulu waktu kecil kita rajin belajar kemudian mendapat juara kelas, Gimana rasanya? Senang banget, kan! Atau ketika kita mendapatkan promosi jabatan karena kinerja bagus, apa rasanya? Hemm... Pasti ada kepuasan, kebahagiaan, dan rasa syukur yang dirasa.
Sayangnya di zaman serba canggih ini rasa ‘bahagia’ tersebut bisa kita dapatkan lewat ujung jari. Melalui gadget yang dipegang setiap waktu sehingga mudah mendapatkan kepuasan instant, diantaranya: bermain game, scrolling sosial media, memesan makanan favorit melalui aplikasi, browsing tanpa tujuan yang jelas, menonton video random di youtube dan tiktok. Semua ‘kebahagiaan’ itu bisa kita dapatkan tanpa effort, tanpa proses yang memerlukan kesabaran dan kerja keras. Bayangkan jika promosi menjadi manager hanya dengan sekali klik, masih maukah kita memberikan etos kerja terbaik? Jika mendapatkan bodygoal hanya dengan meminum obat diet dalam waktu satu malam, maukah kita rutin berolahraga dan menjaga pola makan? Jika semua rasa senang dan puas bisa kita dapatkan secara instant kenapa harus bekerja keras? Sedangkan realita kehidupan yang kita jalani tidaklah semudah bergeriliya di dunia maya. Kehidupan digital memberikan dopamine pada otak, rasanya tentu menyenangkan. Kita cenderung terlena dan mudah melakukan eskapisme (pelarian diri) dari masalah yang dihadapi di dunia nyata. Tak ayal seseorang hidup dengan dopamine hits-nya menyebabkan hidupnya tidak produktif, tidak sehat dan tidak bahagia. Halo teman-teman. Pandemi yang sedang terjadi ini berkaitan sama suatu rasa yang sudah tidak asing dengan kita. Bosan. Betul kan? Ayo mana suaranya yang sudah merasa bosan?
Apa bosan adalah suatu hal yang buruk ? Rasa bosan sendiri termasuk kedalam kategori ringan dari ‘disgust’ atau ‘jijik’. Perasaan jijik ini mengekspresikan ketidaksukaan akan suatu hal. Otak kita secara naluriah butuh rangsangan. Makanya, saat kita sedang ‘bengong’, tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba banyak suara gaib dari dalam diri kita. Mulai dari ‘apa kompor bekas masak tadi udah mati, ya?’, sampai ke ‘dulu kok aku ngomong gitu atau ngelakuin gitu ya…’. Secara naluriah, kita bakalan menghindari perasaan ga enak itu dengan suatu ‘distraksi’ atau sebuah pengalihan. Salah satunya dengan menyibukkan diri kita. Dan seringkali, kita memilih suatu kegiatan yang ‘menyenangkan’, misalnya itu buka sosmed, buka youtube, main tik-tok, ataupun kegiatan lainnya yang membuat kita terjauhkan dari pikiran tersebut. Atau contoh yang lebih ngena lagi adalah.. sebelum pandemi, ketika kita masih sekolah, masih kerja, masih kuliah.. mungkin sesekali di kelas atau di ruang kerja rasanya bosan. terus-terusan mandangin wajah dosen, guru, komputer, dan bawaannya pengen sesekali buka gadget dan chatting. atau rasanya pengen libur seterusnya.iya kan? Sesekali, sikap ini sering dirasa menyelamatkan diri kita karena rasa senang atau ‘kesibukan’ yang menjauhkan kita dari hal yang dihindari. Tapi, jika perilaku ini berkelanjutan… apa kita bakalan terus mendapatkan imbalan rasa senang itu? |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |