“Jangan Overthinking. Coba berfikir positif dulu.”
“Sabar dulu. Jangan dibawa stress.” “Banyak kok yang masalahnya lebih berat dari kamu. Jadi kamu pasti bisa lewatin ini.” Pernah gak sih denger kata-kata semacam ini ketika curhat sama temen? Atau kita sendiri nih yang jadi tempat curhat dan memunculkan kata-kata super penyemangat semacam ini? Kata-kata itu bagus gak sih? Sebenernya bisa jadi bagus. Tapi efeknya buat yang denger bisa jadi malah berdampak negatif dan bikin gak nyaman. Kenapa? Karena gak semua orang bisa mempersepsi kalimat positif sebagai sebuah hal yang positif dan memotivasi. Justru itu tuh bisa jadi bagian dari kalimat yang mengandung toxic positivity. Apa sih itu toxic positivity? Toxic Positivity itu kondisi ketika seorang menerapkan pola pikir optimis dan fokus pada emosi positif secara berlebihan di berbagai macam situasi. Dan disisi lain dia justru menolak dan menganggap remeh emosi-emosi negatif yang sebenernya dirasain saat itu. Jadi kaya memaksakan diri sama positifnya hidup dan jadinya cenderung tidak mau menerima apapun yang memicu emosi negatif. Padahal ya selama kita masih manusia, emosi negatif itu wajar, dan wajar juga ketika kita mengekspresikan emosi negatif itu –selama caranya baik. Mengeluarkan emosi negatif itu membuat kita lebih kenal dengan diri sendiri dan membuat diri semakin bertumbuh. “Jangan sedih dong.” “Dia jahat banget sih. Tapi ya sabar aja. Jangan malah jadi kesel gitu.” Mungkin ada yang bener-bener ngerasa termotivasi atau ngerasa lebih baik ketika diberikan kalimat-kalimat kaya gini. Tapi gak semua. Dalam situasi semacam ini, ketika seseorang terus mendorong orang untuk selalu melihat sisi baik dari masalahnya, tanpa mempertimbangkan pengalaman buruk atau emosi negatifnya, tanpa diberikan kesempatan dia mengekspresikan perasaannya, itu bisa jadi malah bikin mereka terhambat dalam merasakan emosinya dan malah makin negatif. Positive Vibes Only Kita lahir dari masyarakat yang menganggap bahwa perasaan negatif itu buruk dan perasaan positif itu baik. Hal ini pada akhirnya seringkali menempatkan kita pada posisi harus menekan atau menyembunyikan emosi negatif hanya karena gak mau dibilang tukang ngeluh dan tukang marah-marah. Apalagi dikatain cengeng. Ada anggapan bahwa “Bahagia = gak sedih”. Anggapan ini cenderung membuat kita harus menyangkal emosi negatif supaya terus bahagia, padahal kan nggak juga. Emosi negatif itu gak selamanya buruk, proses kita dalam menerima emosi negatif ini yang justru bisa bikin kita ngerasa lebih baik dan menerima apa yang sedang kita alami. Kalau perlu nangis, ya nangis. Its ok. Kadang ketika seseorang terlalu optimis dan fokus pada emosi positif secara berlebih, justru malah jadi tidak realistis. Kita berharap hal-hal baik akan terjadi, tapi lupa kalo hambatan itu pasti ada dan kita jadi lupa mengantisipasi hal itu. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar terhindar dari toxic positivity? 1. Mengidentifikasi Emosi Ketika merasa ada yang mengganggu pikiran, coba identifikasi itu apa. Kita bisa membuat semacam mood tracker. Ini cukup efektif agar kita bisa menghargai setiap emosi yang Allah hadirkan setiap harinnya. Dan apapun emosi yang hadir, semoga bisa Allah mampukan kita menerima dan mengekspresikannya. InsyaAllah 2. Menerima Emosi yang dirasakan Bisa jadi kita atau orang-orang yang dicurhatin temennya diluar sana belum paham bahwa emosi negatif itu adalah sesuatu hal yang harus diterima. Menerima emosi negatif itu bukan membuat kita tampak lemah, justru membuat kita merasa tenang dari pada terus tertekan karena berbohong pada apa yang dirasakan diri sendiri. 3.Self-Compassion Memahami diri ketika mengalami kegagalan atau kesalahan dengan tidak menghakimi kekurangan dan ketidaksempurnaan diri. Dari ketidaksempurnaan, kita akan semakin banyak belajar dan maju. Juga ketika kita mendapati teman yang bercerita, pahami bahwa ia bukan lah kita, bisa jadi cara yang kita lakukan untuk menyelesaikan masalah itu nggak berlaku buat dia. Jadi, akan lebih baik kalau kita memahami dulu ceritanya lalu tanya “Aku bisa bantu apa?”. Pertanyaan ini saja sudah cukup menunjukkan kalo kita tuh ngasih support ke dia. Jadi, bukan hanya kita yang mencari teman baik, namun kita juga bisa menjadi teman yang baik bagi orang lain di sekitar kita, yaitu dengan mencoba tidak menjadi toxic untuknya bagi yang curhat. Selamat dan semangat bertumbuh 😊 - Rahma Mutia
0 Comments
Beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar istilah Toxic Positivity. Berbagai artikel dan carousel mengenai topik ini tak jarang berseliweran di laman media sosial kita. Apalagi, sejak pandemi “menyerang” keseharian kita setahun lalu. PHK dimana-dimana, para pengusaha merasakan omset yang terjun bebas, kita terpaksa tidak bisa menemui keluarga, tidak bisa bersosialisasi dengan teman, bagi pelajar dan mahasiswa mendapat tugas seabrek yang rasanya membelah diri -tak kunjung usai-, orangtua yang kerja dari rumah harus merangkap sebagai guru dan teman bermain anak-anak di rumah. Burn out.
Keadaan-keadaan tersebut tidak bisa kita pungkiri, membuat kita sedih, marah, ingin menghilang sejenak, atau sekedar mencurahkan keresahan dan keluhan kepada orang terdekat ataupun media sosial yang kita miliki. Tapi, setelah mengungkapkan keluh-kesah tersebut, tak jarang kondisi perasaan kita menjadi semakin buruk dengan adanya tanggapan : “ Udah, nggak usah diambil pusing. Lo mendingan bersyukur aja.” Mengapa perasaan kita merasa tidak puas, bahkan nyesek banget ya mendengar tanggapan tersebut? Bukankah nasihat untuk bersyukur adalah hal yang baik? Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Secara sederhana, toxic positivity atau racun positivitas adalah kondisi menempatkan emosi bahagia dan rasa optimis di semua situasi. Emosi manusia yang beragam, “dipaksa” untuk selalu bahagia dan optimis, sehingga nasihat atau tanggapan yang seharusnya positif, menjadi “racun” karena menyangkal emosi lain yang kita miliki. Sama seperti banyak hal yang berlebihan, ketika hal positif digunakan untuk menyembunyikan atau “membungkam” pengalaman dan emosi lainnya. Dengan menyangkal rasa marah, sedih, kecewa, cemburu, kita seringkali berpura-pura menjadi manusia positif dan bahagia sepanjang hari. Jadi, bedanya toxic positivity sama positivity beneran apa dong? Pertanyaan yang pasti sering muncul adalah kebingungan menentukan : Ini tuh toxic positivity atau sesuatu yang positif beneran yang bisa kita amini ya? Untuk menentukannya sesuatu itu adalah racun positifitas, mungkin kita bisa melihat dari beberapa kriteria berikut:
Gimana caranya supaya tidak memberikan toxic positivity? Toxic positivity biasanya keluar dari seseorang yang mendengarkan curhatan. Maka dari itu, ketika ada seseorang yang curhat, yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan curhatannya, berikan ruang dan waktu untuk dia mengekspresikan perasaannya. Daripada melontarkan kalimat-kalimat yang akan menyinggung perasaannya, lebih baik diawali dengan pertanyaan "Oke, jadi apa yang bisa aku bantu?". Dengan begitu, kamu jadi tidak menghakimi dan kamu bisa memberikan tanggapan sesuai dengan apa yang dia harapkan. -Damar Aulia Nissa Masalah apa yang sedang terjadi?
Pada tanggal 18 Januari 2021 jagat Twitter diramaikan oleh perdebatan antara seorang Warna Negara Asing (WNA) berkulit hitam asal Amerika Serikat bernama Kristen Gray dengan sebagian Rakyat Indonesia. Cuitan WNA tersebut yang menceritakan mengenai pengalamannya pindah dan menetap di Bali selama kurang lebih satu tahun secara mudah dan murah walaupun sedang dalam masa pandemi. Tidak hanya berupa cuitan,WNA tersebut juga membuat buku elektronik mengenai pengalamannya dan menjualnya kepada WNA lain yang ingin tinggal di Bali secara mudah dan murah. Sayangnya, buku tersebut juga memberi petunjuk celah untuk ”mencurangi” sistem administrasi keimigrasian di Indonesia, khususnya di Pulau Bali. Rakyat Indonesia pengguna twitter yang mengetahui hal ini mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan atas informasi yang disebarkan untuk “mencurangi” sistem keimigrasian tersebut sehingga merugikan negara. Ramainya perdebatan ini, memicu WNA lain, terutama yang berkulit hitam untuk menanggapi dan menganggap bahwa rakyat Indonesia rasis, karena tidak menerima orang kulit hitam untuk tinggal di negaranya. Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Fenomena saling lawan tersebut, dalam istilah psikologi disebut dengan istilah Reaktansi Psikologi, yaitu dorongan untuk melawan pembatasan kebebasan. Reaktansi ini sering dilakukan untuk memulihkan kebebasan mereka yang terancam. Para WNA melakukan perlawanan terhadap reaksi orang Indonesia karena merasa kemudahan proses imigrasi untuk tinggal di Bali yang disampaikan Kristen dalam e-booknya terancam hilang karena reaksi masyarakat Indonesia bisa menyebabkan perbaikan sistem administrasi dan pengawasan dari pihak imigrasi di Bali, sehingga akan sulit bagi mereka untuk menetap di Bali secara mudah dan murah. Dalam teori yang disampaikan Brehm, reaktansi psikologi ini sering terjadi ketika seseorang/ individu yang merasa bebas melakukan apapun, selanjutnya justru terhalang aturan. Apakah reaktansi psikologi ini hanya terjadi pada para “bule”? Sayangnya tidak. Protes yang disampaikan oleh warga twitter Indonesia menunjukkan bahwa mereka juga perlu melakukan perlawanan atas kecurangan yang dilakukan oleh Kristen yang tidak membayar pajak dan mendorong orang lain untuk melanggar aturan pembatasan perjalanan di masa Indonesia masih mengalami krisis dalam menghadapi pandemic Covid-19. Masyarakat Indonesia merasa “terancam” karena dengan dorongan Kristen tersebut, kasus Covid-19 di Indonesia akan semakin sulit dikendalikan, dan pendapatan negara dari perolehan pajak WNA tidak sesuai dengan seharusnya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia merasa perlu ambil peran untuk membela negaranya. Kasus ini bergulir semakin liar di twitter, karena banyak pihak yang membahas diluar konteks permasalahan yang sebenarnya, bahkan WNA yang melawan, menyebut Indonesia rasis, karena tidak mau menerima warga kulit hitam. Apa yang bisa dilakukan untuk meredam perdebatan dalam kasus ini? Sayangnya, reaktansi psikologis tidak bisa diredam hanya dengan ajakan/ persuasi untuk mengurangi perdebatan. Semakin diajak untuk mengurangi perdebatan, maka perdebatan akan berlangsung semakin sengit. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa cara untuk meredam fenomena reaktansi psikologis ini : 1. Melihat kembali penyebab masalahnya Masing-masing pihak harus melihat kembali masalah utama dari perdebatan ini. Masalah utama dari kasus ini adalah seorang WNA yang berhasil “mencurangi” sistem keimigrasian di Indonesia dan mengajak WNA lain untuk melakukan hal yang sama. Hal ini berarti, dengan tereksposnya kasus ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pihak terkait untuk memperbaiki celah pada sistem tersebut agar tidak ada kasus yang sama dikemudian hari. 2. Memberikan perspektif lain dari sisi lawan Baik orang Indonesia, maupun pihak WNA yang berdebat dalam masalah ini, baiknya sama-sama menempatkan diri pada sepatu orang lain. Hal ini penting, karena berdasarkan hasil penelitian, selain memicu perdebatan tak berujung, reaktansi psikologis juga dapat berpengaruh pada kesehatan jantung yang akan berdetak lebih cepat dan tak teratur karena marah atas kasus yang terjadi. Konklusi Pada intinya, ketika kita menghadapi suatu kejadian yang dirasa mengancam kebebasan, ambil sedikit waktu untuk melihat dan memahami masalah secara lebih jelas dari berbagai perspektif sehingga kita tidak menunjukkan respons agresif yang pada akhirnya malah akan merugikan diri sendiri. - Damar Aulia Nissa |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |