Beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar istilah Toxic Positivity. Berbagai artikel dan carousel mengenai topik ini tak jarang berseliweran di laman media sosial kita. Apalagi, sejak pandemi “menyerang” keseharian kita setahun lalu. PHK dimana-dimana, para pengusaha merasakan omset yang terjun bebas, kita terpaksa tidak bisa menemui keluarga, tidak bisa bersosialisasi dengan teman, bagi pelajar dan mahasiswa mendapat tugas seabrek yang rasanya membelah diri -tak kunjung usai-, orangtua yang kerja dari rumah harus merangkap sebagai guru dan teman bermain anak-anak di rumah. Burn out.
Keadaan-keadaan tersebut tidak bisa kita pungkiri, membuat kita sedih, marah, ingin menghilang sejenak, atau sekedar mencurahkan keresahan dan keluhan kepada orang terdekat ataupun media sosial yang kita miliki. Tapi, setelah mengungkapkan keluh-kesah tersebut, tak jarang kondisi perasaan kita menjadi semakin buruk dengan adanya tanggapan : “ Udah, nggak usah diambil pusing. Lo mendingan bersyukur aja.” Mengapa perasaan kita merasa tidak puas, bahkan nyesek banget ya mendengar tanggapan tersebut? Bukankah nasihat untuk bersyukur adalah hal yang baik? Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Secara sederhana, toxic positivity atau racun positivitas adalah kondisi menempatkan emosi bahagia dan rasa optimis di semua situasi. Emosi manusia yang beragam, “dipaksa” untuk selalu bahagia dan optimis, sehingga nasihat atau tanggapan yang seharusnya positif, menjadi “racun” karena menyangkal emosi lain yang kita miliki. Sama seperti banyak hal yang berlebihan, ketika hal positif digunakan untuk menyembunyikan atau “membungkam” pengalaman dan emosi lainnya. Dengan menyangkal rasa marah, sedih, kecewa, cemburu, kita seringkali berpura-pura menjadi manusia positif dan bahagia sepanjang hari. Jadi, bedanya toxic positivity sama positivity beneran apa dong? Pertanyaan yang pasti sering muncul adalah kebingungan menentukan : Ini tuh toxic positivity atau sesuatu yang positif beneran yang bisa kita amini ya? Untuk menentukannya sesuatu itu adalah racun positifitas, mungkin kita bisa melihat dari beberapa kriteria berikut:
Gimana caranya supaya tidak memberikan toxic positivity? Toxic positivity biasanya keluar dari seseorang yang mendengarkan curhatan. Maka dari itu, ketika ada seseorang yang curhat, yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan curhatannya, berikan ruang dan waktu untuk dia mengekspresikan perasaannya. Daripada melontarkan kalimat-kalimat yang akan menyinggung perasaannya, lebih baik diawali dengan pertanyaan "Oke, jadi apa yang bisa aku bantu?". Dengan begitu, kamu jadi tidak menghakimi dan kamu bisa memberikan tanggapan sesuai dengan apa yang dia harapkan. -Damar Aulia Nissa
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |