Masalah apa yang sedang terjadi?
Pada tanggal 18 Januari 2021 jagat Twitter diramaikan oleh perdebatan antara seorang Warna Negara Asing (WNA) berkulit hitam asal Amerika Serikat bernama Kristen Gray dengan sebagian Rakyat Indonesia. Cuitan WNA tersebut yang menceritakan mengenai pengalamannya pindah dan menetap di Bali selama kurang lebih satu tahun secara mudah dan murah walaupun sedang dalam masa pandemi. Tidak hanya berupa cuitan,WNA tersebut juga membuat buku elektronik mengenai pengalamannya dan menjualnya kepada WNA lain yang ingin tinggal di Bali secara mudah dan murah. Sayangnya, buku tersebut juga memberi petunjuk celah untuk ”mencurangi” sistem administrasi keimigrasian di Indonesia, khususnya di Pulau Bali. Rakyat Indonesia pengguna twitter yang mengetahui hal ini mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan atas informasi yang disebarkan untuk “mencurangi” sistem keimigrasian tersebut sehingga merugikan negara. Ramainya perdebatan ini, memicu WNA lain, terutama yang berkulit hitam untuk menanggapi dan menganggap bahwa rakyat Indonesia rasis, karena tidak menerima orang kulit hitam untuk tinggal di negaranya. Fenomena psikologis apa yang terjadi ? Fenomena saling lawan tersebut, dalam istilah psikologi disebut dengan istilah Reaktansi Psikologi, yaitu dorongan untuk melawan pembatasan kebebasan. Reaktansi ini sering dilakukan untuk memulihkan kebebasan mereka yang terancam. Para WNA melakukan perlawanan terhadap reaksi orang Indonesia karena merasa kemudahan proses imigrasi untuk tinggal di Bali yang disampaikan Kristen dalam e-booknya terancam hilang karena reaksi masyarakat Indonesia bisa menyebabkan perbaikan sistem administrasi dan pengawasan dari pihak imigrasi di Bali, sehingga akan sulit bagi mereka untuk menetap di Bali secara mudah dan murah. Dalam teori yang disampaikan Brehm, reaktansi psikologi ini sering terjadi ketika seseorang/ individu yang merasa bebas melakukan apapun, selanjutnya justru terhalang aturan. Apakah reaktansi psikologi ini hanya terjadi pada para “bule”? Sayangnya tidak. Protes yang disampaikan oleh warga twitter Indonesia menunjukkan bahwa mereka juga perlu melakukan perlawanan atas kecurangan yang dilakukan oleh Kristen yang tidak membayar pajak dan mendorong orang lain untuk melanggar aturan pembatasan perjalanan di masa Indonesia masih mengalami krisis dalam menghadapi pandemic Covid-19. Masyarakat Indonesia merasa “terancam” karena dengan dorongan Kristen tersebut, kasus Covid-19 di Indonesia akan semakin sulit dikendalikan, dan pendapatan negara dari perolehan pajak WNA tidak sesuai dengan seharusnya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia merasa perlu ambil peran untuk membela negaranya. Kasus ini bergulir semakin liar di twitter, karena banyak pihak yang membahas diluar konteks permasalahan yang sebenarnya, bahkan WNA yang melawan, menyebut Indonesia rasis, karena tidak mau menerima warga kulit hitam. Apa yang bisa dilakukan untuk meredam perdebatan dalam kasus ini? Sayangnya, reaktansi psikologis tidak bisa diredam hanya dengan ajakan/ persuasi untuk mengurangi perdebatan. Semakin diajak untuk mengurangi perdebatan, maka perdebatan akan berlangsung semakin sengit. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa cara untuk meredam fenomena reaktansi psikologis ini : 1. Melihat kembali penyebab masalahnya Masing-masing pihak harus melihat kembali masalah utama dari perdebatan ini. Masalah utama dari kasus ini adalah seorang WNA yang berhasil “mencurangi” sistem keimigrasian di Indonesia dan mengajak WNA lain untuk melakukan hal yang sama. Hal ini berarti, dengan tereksposnya kasus ini, seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pihak terkait untuk memperbaiki celah pada sistem tersebut agar tidak ada kasus yang sama dikemudian hari. 2. Memberikan perspektif lain dari sisi lawan Baik orang Indonesia, maupun pihak WNA yang berdebat dalam masalah ini, baiknya sama-sama menempatkan diri pada sepatu orang lain. Hal ini penting, karena berdasarkan hasil penelitian, selain memicu perdebatan tak berujung, reaktansi psikologis juga dapat berpengaruh pada kesehatan jantung yang akan berdetak lebih cepat dan tak teratur karena marah atas kasus yang terjadi. Konklusi Pada intinya, ketika kita menghadapi suatu kejadian yang dirasa mengancam kebebasan, ambil sedikit waktu untuk melihat dan memahami masalah secara lebih jelas dari berbagai perspektif sehingga kita tidak menunjukkan respons agresif yang pada akhirnya malah akan merugikan diri sendiri. - Damar Aulia Nissa
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |