Halo teman-teman. Pandemi yang sedang terjadi ini berkaitan sama suatu rasa yang sudah tidak asing dengan kita. Bosan. Betul kan? Ayo mana suaranya yang sudah merasa bosan? Apa bosan adalah suatu hal yang buruk ? Rasa bosan sendiri termasuk kedalam kategori ringan dari ‘disgust’ atau ‘jijik’. Perasaan jijik ini mengekspresikan ketidaksukaan akan suatu hal. Otak kita secara naluriah butuh rangsangan. Makanya, saat kita sedang ‘bengong’, tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba banyak suara gaib dari dalam diri kita. Mulai dari ‘apa kompor bekas masak tadi udah mati, ya?’, sampai ke ‘dulu kok aku ngomong gitu atau ngelakuin gitu ya…’. Secara naluriah, kita bakalan menghindari perasaan ga enak itu dengan suatu ‘distraksi’ atau sebuah pengalihan. Salah satunya dengan menyibukkan diri kita. Dan seringkali, kita memilih suatu kegiatan yang ‘menyenangkan’, misalnya itu buka sosmed, buka youtube, main tik-tok, ataupun kegiatan lainnya yang membuat kita terjauhkan dari pikiran tersebut. Atau contoh yang lebih ngena lagi adalah.. sebelum pandemi, ketika kita masih sekolah, masih kerja, masih kuliah.. mungkin sesekali di kelas atau di ruang kerja rasanya bosan. terus-terusan mandangin wajah dosen, guru, komputer, dan bawaannya pengen sesekali buka gadget dan chatting. atau rasanya pengen libur seterusnya.iya kan? Sesekali, sikap ini sering dirasa menyelamatkan diri kita karena rasa senang atau ‘kesibukan’ yang menjauhkan kita dari hal yang dihindari. Tapi, jika perilaku ini berkelanjutan… apa kita bakalan terus mendapatkan imbalan rasa senang itu? Seiring manusia mendapatkan pembiasan atas suatu stimulus, ia akan terbiasakan dengan stimulus tersebut. Dan jika stimulus tersebut sudah dirasa ‘biasa’, kita akan membutuhkan sesuatu yang ‘lebih’, kan? Mengingat di jaman sekarang untuk mendapatkan ‘dopamine’ kita hanya tinggal sekali klik.
Kita bisa mengakses apapun yang kita inginkan dan dirasa menghibur melalui akses internet di gadget. Tapi jika kita sudah membutuhkan kadar ‘keinginan’ dan ‘hiburan’ yang lebih banyak, maka intensitas kita akan bertambah terus, kan? Nah, kalau sudah sampai taraf kita ketergantungan dengan stimulus penghasil dopamine ini, tingkatan kemampuan kita untuk menghadapi rasa bosan juga pasti menipis. Kita terbiasa dapat mengakses game, sosmed dengan mudah. Tapi jika akses itu hilang. Seperti HP anda low-batt dan tidak ada charger, rasa risih pun mulai muncul. Dengan kata lain, jika kita terbiasa dengan mendapatkan ‘kesenangan’ lebih banyak, kita menjadi lebih asing dengan rasa bosan dan lebih rentan untuk merasa tidak nyaman dengan rasa bosan itu. Layaknya cara kerja otot, semakin tidak diasah kita justru semakin rapuh dengan rasa bosan tersebut. Pada sebuah essay karya Jennifer Schuesseler yang berjudul ‘Our Boredom, Ourselves’ ternyata dikatakan rasa bosan merupakan salah satu jendela dari kreativitas, well-being and sense of self. Karena rasa bosan justru memberikan alarm pada diri kita akan isi kepala kita. Apa yang kita pikirkan dan membuat kita lebih sadar akan diri kita (self-awareness). Saat dalam keadaan bosan, pikiran kita otomatis menyuguhkan isinya yang selama ini tersimpan, maupun yang menyenangkan atau tidak. Yang pecicilan atau bahkan yang bersifat traumatis. Bodo amat. Pikiran kita tidak pilih-pilih saat membuat kita mengingat kembali kejadian-kejadian itu. ‘Oh, si diri ini kan malu saat dia ngompol di depan kelas, lebih baik aku tidak mereka ulang kejadian itu dan menunjukkan ingatan saat si diri menjadi juara satu saat menggambar di TK. Agar dia selalu ingat bahwa dirinya adalah seorang bintang <3 ’. Kata si benak. Tidak, Ferguso. Pikiran kita tidak memikirkan perasaan kita. Dia menunjukkan apa yang belum selesai atau mungkin selama ini kita jauhi untuk kembali kita hadapi. Bikin risih, gak sih? Iya. Maka dari itu, wajar pilihan otomatis kita adalah untuk menghindari keadaan bosan. Karena kita tidak tahu ‘kejutan’ apa yang benak kita akan lontarkan. Namun, secara tidak langsung ini juga membuat kita menolak mendengarkan apa sebenarnya yang diri kita berusaha untuk sampaikan melalui benak. Para biksu Budha yang dikenal terlihat tenang dan memiliki kendali diri yang baik menjadikan meditasi sebuah rutinitas, dimana mereka duduk bernafas kemudian membiarkan diri mereka menjadi saksi terhadap isi pikiran mereka. Selama ini, yang kita tahu dari meditasi adalah kita duduk dan mengatur nafas kita untuk merasa rileks. Tidak jarang orang-orang yang mencoba akan tertidur saking merasa ‘rileks’nya. Meditasi yang biasa kita lakukan sebenarnya berbeda dari rutinitas para biksu ini. Mereka melatih diri mereka untuk menyaksikan serta melihat apa yang isi pikiran mereka tunjukkan apa adanya tanpa menjadi responsif. Pengendalian emosi menjadi kunci. Ketika mereka belajar mengenal fakta dan perasaan, mereka mulai memilah hal tersebut dan belajar untuk menerimanya. Maka dari itu mereka mencapai titik yang stabil. Apakah saat mereka melakukan meditasi mereka tidak merasa bosan ? Tidak. Karena mereka langsung mengambil ponsel mereka dan membuat tik-tok dengan backsound Melanie Martinez - Play Date. Tentu saja mereka merasakan bosan. Tapi dengan adanya sebuah pembiasan, mereka terbiasa dengan menghadapi apa yang terjadi dalam diri mereka. Melatih ‘otot’ kesadaran diri dan pengendalian diri (self-control) mereka untuk menembus dan berteman dengan rasa bosan melalui meditasi. Menghadapi isi kepala mereka. Maka dari itu, mereka juga terbiasa menghadapi diri mereka sendiri tanpa menjadikan ‘distraksi’ menjadi sesuatu yang berarti. Jadi apakah rasa bosan itu hal yang mengancam? atau hal yang harus kita hindari? dan apakah distraksi itu selalu di butuh kan? Silahkan jawab di kolom komentar. Salam, Vera Amanda.
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |