Berbeda dari cerita sebelumnya, ini adalah cerita tentang sebuah hubungan romantis beda agama. Aku tau ini tidak benar, tapi yang Aku rasakan saat itu adalah nyaman luar biasa, saking nyamannya Aku sampai bisa mengatakan kalu ‘Yes, He is the one’. Lama kelamaan kami jadi menginginkan sesuatu yang lebih dari ini, hubungan yang lebih serius. Kami tidak meminta satu sama lain untuk berpindah agama, karena kami sadar kalau hal itu adalah pondasi hidup manusia. Kami juga sadar betul, kalau kami tidak mungkin mengkhianati Tuhan kami masing-masing. Seiring berjalannya waktu, kami merasa kalau kami memaksakan hubungan ini sampai akhirnya kami mengalami putus nyambung. Kalau tidak salah sudah 36 kali kami putus nyambung. Iya, TIGA PULUH ENAM KALI. Melelahkan sekali rasanya. Hubungan ini dirasa justru malah menyakiti banyak pihak, dan yang paling tersakiti tentunya adalah kami berdua. Aku kemudian berpikir dan bertanya kepada diri sendiri “Sebenarnya, apa sih yang Aku cari dari hidup ini? Memangnya benar kalau Dia adalah lelaki yang bisa menemaniku sampai tua dan mati nanti?” Untuk menjawab pertanyaan itu, Aku mulai mencoba mengobservasi dan mengevaluasi diri. “Apakah perasaanku ini hanya sekedar ingin yang tidak beralasan? Apakah Aku masih bisa hidup kalau tanpa Dia?”. Dari sana, Aku mendapatkan jawaban kalau “Iya, ternya Aku hanya menginginkan Dia, bukan membutuhkan Dia sebagai pasangan. Aku juga bisa bahagia tanpa Dia, karena toh ketika Aku berhubungan dengannya Aku justru lebih banyak mengalami sedih karena ujung-ujungnya Aku tidak menemukan jalan keluar. Jadi, tanpa Dia pun Aku rasa tidak apa-apa”.
Tidak sampai disitu, Aku juga kembali memunculkan pertanyaan “Kalau Aku mengakhiri hubungan ini, apakah Aku masih bisa hidup? Apakah akan ada orang lain yang bisa menyayangi Aku?”. Aku kemudian mencoba mengingat hidupku selama 24 tahun ini. Sudah banyak hal yang Aku lalui ternyata, lalu kenapa sekarang Aku jadi lemah seperti ini? Kenapa Aku takut kehilangan orang yang bahkan 5 tahun ke depan enggak akan ada pengaruhnya untuk hidupku? Sejak itu Aku menjadi yakin untuk mengakhiri hubungan yang tidak akan sampai pada titik temu ini. Kami mengakhiri hubungan ini dengan baik-baik dan masih menjaga komunikasi. Memang sih Kami masih menjalin silaturahmi, tapi masalahnya hal ini justru mempersulit Aku untuk move on dan mengembangkan diri. Komunikasi yang masih terjalin seakan-akan menahanku. Sampai suatu hari Dia melukaiku dengan perkataannya, Aku menjadi semakin yakin untuk meninggalkannya dan menutup segala konunikasi. Aku pikir, ini adalah hal yang terbaik bagiku dan hubungan kami. Pada saat itu, Aku merasa sakit hati dong pastinya. Aku merasa sedih dan nangis seperti orang gila. Tapi... Aku berkomitmen kepada diri sendiri kalau Aku juga harus bangkit. Setelah itu, Aku mulai berusaha untuk move on. Aku mulai melakukan banyak kegiatan positif seperti olahraga, mulai terbuka kepada Ibu, dan sharing bersama teman. Dari cerita ini, Aku mempelajari satu hal bahwa hubungan itu harus memiliki tujuan yang jelas, akan dibawa kemana dan akan menjadi seperti apa hubungannya. Tidak semua hal yang diinginkan menjadi kenyataan. Manusia memang memiliki keinginan, tapi tetap Allah Swt yang menentukan. Aku bersyukur kalau Aku masih ditolong oleh Allah Swt dan diberi kesabaran. Kalau tidak, Aku tidak tau akan jadi seperti apa Aku sekarang. -P, 24 Tahun.
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |