Tulisan ini sebenarnya dibuat tanggal 22 Januari 2019. Wow, sudah enam bulan yang lalu ternyata. Tapi tak apa, aku mau berbagi cerita tentang bagaimana akhirnya bisa ‘bebas’ dari ‘jeratan’ toxic relationship. [22 Januari 2019] Beberapa bulan belakangan ini, aku lagi concern mendalami salah satu topik yang hangat dibicarakan, yaitu toxic relationship. Topik ini menarik bagiku karena aku sendiri lagi berjuang untuk keluar dari toxic relationship yang dijalani cukup lama yaitu 3 tahun. Awalnya aku enggak tahu kalau hubungan yang sedang dijalani itu merupakan toxic relationship sampai aku baca instastory @zeinpermana dan @ladywitts tentang ciri-ciri toxic relationship. Habis itu aku evaluasi tuh, kira-kira ciri-ciri tersebut ada enggak ya dalam hubungan aku. Tahu enggak kalo hasilnya mengejutkan banget? Dari semua ciri yang disebutkan di instastory @zeinpermana dan @ladywitts, 95% nya ada dalam hubungan itu. Huhu sedih akutuh L . Btw kalo mau tau ciri-cirinya apa aja, cek langsung ke highlight instagram @zeinpermana & @ladywitts. Karena jangan-jangan hubungan yang kamu jalani juga toxic lho hehe. Setelah aku sadar kalo hubungannya ternyata se-toxic itu... , aku jadi semakin rajin untuk nyari artikel, video, dan materi-materi yang membahas tentang toxic relationship supaya aku jadi makin sadar, mau memutuskan, dan mau bergerak untuk move on dari toxic relationship tersebut. Sampai kemudian akhirnya aku memantapkan diri untuk memutuskan hubungan tersebut. Aku juga udah mikirin konsekuensi positif negatifnya apa kalo putus dan kalo lanjut. Pokoknya aku mau putus. Titik. (Meskipun pada prosesnya aku sempat goyah dan terbujuk untuk balik lagi hehehe).
Padahal aku udah mempertimbangkan konsekuensi positif-negatifnya apa, dan ini bukan merupakan putus yang pertama kali tapi tetep aja ya yang namanya putus tuh merupakan peristiwa yang beraaaatt banget (bagi aku hehe). Setelah putus itu aku jadi galau, sedih, melamun, dan nangis. Jadi males makan, males gerak, pengennya tiduran aja, dan males bersosialisasi. Sudah ku duga sih ini bakalan terjadi, karena masa-masa ‘galau’ ini udah ada di daftar konsekuensi negatif dari putus. Tapi, setelah itu aku menyadarkan diri lagi, kalo hal yang aku lakuin itu sebenernya cuma buang-buang waktu dan tenaga. Cape iya, ngehasilin enggak. Ngehasilin sih, tapi yang dihasilkan malah kesedihan yang makin dalam. Karena hayati udah terlalu lelah dan udah enggak mau balik lagi, akhirnya aku mulai menguatkan diri lagi dengan baca dan dengerin ‘nasihat’ tentang move on dari toxic relationship. Selain itu, materi-materi toxic relationship yang dibaca dan didengarkan juga adalah buat ngejaga supaya aku tetap rasional. Karena jujur selama ini akutuh orangnya lebih dominan melibatkan perasaan daripada pikiran. Kalo kata orang zaman sekarang, baper. Bawa perasaan. Apa-apa dibawa perasaan dan jadinya malah nggak rasional. Setelah itu, aku menjadi orang yang ‘lebih rasional’. Karena dari awal aku emang udah enggak mau balik lagi akhirnya aku mulai melakukan banyak kegiatan positif biar enggak terlalu fokus sama kesedihan akibat putus. Aku juga mulai membangun support system yang bisa ngedukung aku buat keluar dari toxic relationship. Salah satu support system yang aku bangun adalah komunitas ini, Filosofi Ruang Hati (membangun disini dalam artian aku ikut seminarnya terus gabung di komunitasnya, bukan membangun dalam artian membentuk komunitasnya hehehe). Ada satu hal yang menurutku lucu. Jadi waktu seminar itu kan ditanya apa motivasi mengikuti seminar tersebut. Lalu jawaban aku adalah “karena ingin sembuh dari sakit hati” (hehehe). Iya, seniat itu aku pengen sembuh dari sakit hati dan keluar dari toxic relationship sampe ikutan seminar segala. Semenjak itu, aku jadi makin sadar tentang gimana cara mengelola hati, siapa yang layak jadi penghuni hati, dan yang terpenting adalah gimana move on dari toxic relationship dengan baik dan benar. Karena udah tahu ilmunya, aku ngerasa bahwa move on tidak sesulit biasanya karena aku udah mulai bisa rasional dan jadinya enggak terlalu ‘baper’. Prosesnya juga jadi enggak terlalu lama (biasanya saya kalau move on itu lama hihihi). Selain itu, Alhamdulillah hikmahnya putus itu aku jadi bisa bersilaturahmi dengan teman-teman di Filosofi Ruang Hati yang insyaallah akan saling support dalam kebaikan. Aamiin. Dari sana, aku ngerasa bahwa hidupku jadi lebih bahagia, lebih banyak dikelilingi orang-orang baik, kegiatan-kegiatan positif, hal-hal yang positif, dan yang terpenting adalah aku sangat bersyukur bisa keluar dari toxic relationship karena akhirnya aku bisa mendapatkan kembali ‘diriku’ yang telah terenggut selama 3 tahun itu. Aku kemudian menyebut ini sebagai moment “I lose you, but I find my self”. Karena aku udah bahagia dan dikelilingi dengan hal-hal positif, aku jadi bisa berkarya yang positif juga. Aku bisa bebas menjadi diri aku tanpa harus memenuhi tuntutan seseorang, aku bisa mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui media apapun tanpa ada yang menyalahkan, aku bisa berteman dan berhubungan dengan siapapun tanpa ada yang melarang, aku bisa mengikuti kegiatan apapun tanpa ada yang membatasi, aku bisa pergi kemanapun tanpa ada yang mencegah, dan aku bisa menyayangi tanpa harus merasa tersakiti dan menyakiti. Aku tidak lagi terkekang. Aku sudah bebas. [26 Juli 2019] Enam bulan setelah aku menulis tulisan di atas, aku menjadi semakin bahagia dan semakin banyak mengikuti kegiatan positif yang tidak bisa aku lakukan ketika masih terjebak dalam toxic relationship. Pesan aku buat orang-orang yang sedang berjuang keluar dari toxic relationship, jangan takut untuk menutup pintu (mengakhiri) hubungan tersebut. Karena ketika kamu menutup pintu tersebut, itu berarti kamu sedang membuka pintu lain yang lebih baik. Sekian tulisanku hari ini, semoga teman-teman semua dapat mengambil hal baik dan hikmah dari tulisan ini. Aamiin. Terima kasih :) [N, 22 tahun]
0 Comments
Leave a Reply. |
PhilosopherPhilosopher adalah anggota Filosofi Ruang Hati yang berkontribusi melalui karya dan prestasinya Archives
February 2021
Categories |